Norwegian Wood sejujurnya menjadi novel pertama yang kubaca dan coba aku review dalam blog ini. Memang sebelumnya aku telah membaca beberapa novel seperti punyanya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca atau Novel dari Mochtar Loebis seperti Senja di-Jakarta dan novel lain, namun ini novel penulis luar pertama yang serius kubaca. Kalau novel-novel Indonesia lainnya, mungkin akan cukup mudah untuk menuliskanya, karena kesamaan latar, namun ini berbeda sama sekali.
Walaupun begitu aku coba menulis singkat pengalamanku membacanya.
Pertama aku mengira ini seperti Novel Remaja biasa, kisa percintaan dua orang yang mana si-lelakinya tidak bisa melupakan wanita yang sungguh dicintainya. Sehingga ketika sudah lama berlalu ketika si-Pria yang bernama Watanabe tersebut berpisah dengan wanitanya, dia tidak bisa melupakannya, memori tersebut, Naoko, wanita yang pernah ada dalam hidupnya datang kembali ketika 37 tahun kemudian dia tiba dibandara Hamburg dengan diiringi music yang lembut dari lagu “Norwegian Wood” oleh The Beatles. Kemudian dari sinilah cerita tersebut dimulai, dalam kenangan akan masa lalu, Haruki Murakami mulai menuliskan seorang Toru Watanabe menceritakan pengalaman indah dan menyedihkan untuk lepas dari rasa kehilangan terhadap orang yang dicintainya. Pengalaman hidup yang tidak sekedar hanya kisah cinta, namun juga hubungan-hubungan yang dibangunnya dengan orang-orang disekitarnya.
Pada masa SMA-nya, Watanabe bersahabat dengan sepasang kekasih Kizuki dan Naoko. Persahabatan mereka tidak biasa karena bagi Watanabe, Kizuki merupakan satu-satunya sahabatnya dan begitu juga sebaliknnya. Mereka bertiga selalu bersama, bermain dan menghabiskan waktu bertiga, diantara hubungan mereka bertiga Naoko dan Kizuki jarang berinteraksi kecuali ketika ada Kizuki, karena Kizukilah yang membuat suasana menjadi ceria, hidup dan seimbang. Suatu hari, Kizuki ditemukan bunuh diri tanpa meninggalkan pesan apa-apa dan tanpa ada masalah sebelumnya. Watanabe dan Kizuki menjadi sangat terpukul atas kejadian ini. Watanabe menjadi orang yang terakhir ditemui Kizuki dan mereka menghabiskan waktu bersama bermain billiard sebelum Kizuki mengakhiri hidupnya, kenangan bersama Kuziku membekas didalam hidup Watanabe dan meninggalkan lubang mendalam dalam hidupnya. Begitu juga Naoko, Kizuki sejak kecil mereka bersama dan ketika sekolah mulai berpacaran, kepergian Kizuki meninggalkan luka mendalam, menyesakkan. Kemudian setelah mereka lulus SMA, Watanabe dan Naoko keluar dari kampung halamannya dan sama-sama melanjutkan kuliahnya ke Tokyo, tanpa ada berjanji sama sekali sebelumnya. Sejak kematian Kizuki mereka tidak pernah bertemu sama sekali. Tanpa sengaja mereka bertemu di Tokyo dan mulai sering bersama lagi. Mereka saling bercerita satu sama lain dan setiap minggu mereka bertemu untuk jalan-jalan mengelilingi Tokyo, Naoko memintanya. Suatu hari Naoko menghilang tanpa ada kabar, Hari sebelumnya Naoko ulang tahun, mereka merayakannya berdua, banyak hal yang terjadi hari itu dan malamnya mereka juga berhubungan seks. Kepergian Naoko tanpa kabar membuat Watanabe menjadi bingung dan galau. Watanabe melampiaskan kehilangann dan kekosongannya dengan meniduri banyak wanita. Pengalaman sex yang begitu banyak didapatkannya dari temannya diperkuliahan Nagasawa-San. Mereka menjadi sering bersama berkeliling tiap minggu dimalam hari untuk mencari wanita-wanita yang bisa diajak tidur.
Diperkuliahan Watanabe juga bertemu dengan Midori, perempuan riang dan cerita, sangat baik. Midori mengisi hari-hari Watanabe. Midori suka bercerita kepada Watanabe, dia menceritakan segala hal termasuk fantasi sexnya. Midori membuat hidup Watanabe menjadi berwarna, namun siapa yang bisa menyangka Midori yang mengisi keriangan dalam hidup Watanabe dibalik itu semua harus menghadapi pengalaman hidup merawat ayah yang sakit-sakit selama bertahun-tahun dan menjadi pengurus rumah tangga untuk Ayah dan kakaknya. Hubungan mereka tidak berlanjut lebih jauh karena Watanaba masih memikirkan Naoko yang ternyata sedang menjalani pengobatan terhadap luka jiwanya disuatu tempat. Naoko dua kali mengalami luka dari kehilangan orang yang dikasihinya akibat mengakhiri hidupnya. Selain karena kematian Kizuki, sebelumnya Naoko juga menghadapi pengalaman kakaknya yang bunuh diri. Di tempat pengobatan, Naoko ditemani oleh Reiko, seorang wanita paruh baya yang mengalami luka batin karena dua pengalaman yang menyakitkan baginya kehilangan kemampuannya bermain piano dan mengalami pengalamn sexual dari anak perempuan remaja lesbian. Beberapa kali Watanabe megunjungi Naoko dan Reiko ketempat pengobatannya. Watanabe juga tetap berhubungan dengan Midori dan semakin dekat. Watanabe sekarang terjebak diantara dua wanita, Midori yang mengisi hidupnya dengan keceriaan dan Naoko yang ditunggu-tunggunya selalu.
Sampai 3/4 bagian Novel ini baru aku menyadari bahwa hal yang ingin disampaikan oleh Watanabe bukan merupakan sekedar cerita cinta Remaja menuju dewasa. Pengalaman hidup Watanabe dalam menemani Naoko menghadapi luka batin yang besar setelah mengalami kehilangan dua orang yang disayaninya sangat menyedihkan. Luka batin yang membuat hidup Naoko tidak dapat berjalan normal kembali, terpisah antara dunianya yang menyedihkan yang dirasakan Naoko dan dunia luar. Cerita demi cerita yang dituliskan Murakami menunjukkan bagaimana pengalaman Naoko untuk lepas dari luka itu. Diakhir cerita Watanabe ternyata harus mengalami pengalaman tragis juga, kehilangan Naoko. Naoko menggantungkan dirinya ditengah hutan ditempat pengobatannya.
Mungkin guncangan yang sama yang dihadapi Naoko, juga dihadapi oleh Watanabe ketika kehilangan Naoko. Kalau Naoko harus mengalami pengobatan untuk berusaha memulihkan jiwanya, Watanabe berusaha untuk bangkit dengan melarikan diri, berkelana dan mengunjungi tempat-tempat jauh. Berputar-putar kemana saja yang dia inginkan tanpa arah dan tujuang, hampir 2 bulan, hingga dia kemudian menyadari untuk bangkit dan melanjutkan hidup. Reiko menjadi orang yang paling berpengaruh dalam kebangkitan Watanabe, dalam pertemuan mereka setelah kematian Naoko, Reiko menyampaikan hal berikut yang sangat membekas bagi kita aku yang membacanya,
“If you feel some kind of pain with regard to Naoko’s death, I would advise you to keep on feeling that pain for the rest of your life. And if there’s something you can learn from it, you should do that, too. But quite aside from that, you should be happy with Midor. Your pain has nothing to do with your relationship with her. If you hurt her any more than you have already have, the wound could be too deep to fix. So, hard as it may be, you have to be strong. You have to grow up more, be more of an adult. I felt the sanatorium and came all the way up here to Tokyo to tell you that - all the way on that coffin of a train.”
Murakami dalam bukunya yang secara eksplisit banyak menyampaikan pengalaman seks dari watanabe. Tidak hanya dengan Naoko, Watanabe terlibat aktivitas seks dengan semua tokoh wanita yang ada dalam hidupnya, walaupun itu hanya sekali. Selain cerita sex, setiap tokoh yang dihadapi Watanabe datang dengan cerita kesuraman hidupnya masing-masing, detail kejiwaan yang beraneka ragam dengan luka hidup yang beraneka ragam dari setiap tokoh. Murakami berusaha menyampaikan pengalaman psikologis mengenai kehilangan, kehilangan akan orang-orang yang kita sayangi. Konteksnya di-Jepang begitu banyak kasus bunuh diri, Watanabe dalam Novelnya bisa jadi ingin mengggambarkan rasa kehilangan akibat ditinggalkan orang-orang yang bunuh diri ini. Pemgalamanku membaca Novel ini membuatku sampai kepada penilaian 3 dari 5 bintang yang bisa kuberi. Dua bintang hilang karena kesuraman dari setiap bagian dalam Novel ini membuatnya terlalu sedih untuk sebuah bahan bacaan, kemudian kesuraman tersebut membawaku untuk kehilangan sedikit semangat untuk menyelesaikannya. Tiga bintang masing-masing untuk pelajaran terhadap luka jiwa dan bagaimana harus bangkit yang diberikan oleh novel ini, kisah cerita yang mind-blowing, referensi bacaan-bacaan dan lagu-lagu klasik yang terselip dalam ceritanya.