Setelah sebelumnya aku menyelesaikan bacaan buku “Terasing! Di Negeri Sendiri” dari Pramoedya Ananta Toer, aku menjadi terngiang-ngiang dengan karyanya dan memutuskan untuk terus membaca bukunya yang lain. Buku ini merupakan salah satu karya lain dari Pram. Pram memang tidak menulis buku ini, tapi dia melakukan hal lain. Menyunting buku ini dan memilihkan cerita-cerita yang menjelaskan bagaimana keadaan dan kondisi di Boven Digul, sebuah kamp pembuangan yang sangat menyeramkan di Papua.
Pram dalam menyunting buku ini berniat untuk menghadirkan kisah-kisah langsung dari pelaku sejarah, orang-orang yang pernah dibuang/dibuang ke Digul dan tak sempat dibebaskan ke Boven Digul (Digulis dan Ex-Digulis). Selain itu dia membuat batasan bahwa tulisan-tulisan itu harus ditulis dalam Bahasa Indonesia. Pram bertekat untuk menghadirkan dan menggangkat tulisan-tulisan berbahasa Indonesia saat itu. Satu yang menjadi menarik, Pram dalam buku ini mengangkat tulisan bertema Psikologi pertama yang berbahasa Indonesia, Cerita yang berjudul “Pandu Anak Buangan”.
Berikut merupakan lima cerita yang terdapat dalam buku ini,
1. Rustam Digulist
Cerita yang pertama berlokasi di Sumatera, tepatnya di Pematang Siantar. Cerita pendek yang ringan ini mengisahkan seorang Digulist yang kehilangan kekasihnya setelah dia dibuang dan diasingkan ke Boven Digul.
Pertama-tama dikisahkan bahwa Rustam yang mengasihi Cindai dan berniat meminangnya. Namun, sialnya beberapa hari sebelum hari lamaran itu terjadi, Rustam ditangkap dan diputuskan untuk dibuang ke Boven Digul. Penyebabnya ialah karena dia tergabung dengan Partai Kumunis Indonesia, ya memang tidak salah ketik, tertulis dibukunya memang kuminis, bahasa yang digunakan bahasa melayu lama, namun dengan Ejaan yang telah disempurnakan.
Rustam tidak hanya tergabung dalam PKI, tapi juga punya peran penting dikampungnya. Alasan yang menyebabkan dia tertangkap ialah dia mengadakan rapat propaganda dirumahnya dan ini diketahui oleh musuhnya Borsthaar seorang pengawas di perkebunan tempat Rustam bekerja. Saat itu juga, ketika rapat propaganda sedang berlangsung, Rustam ditangkap, dibawah ke Medan lalu dijatuhi hukuman harus dibuang ke Boven Digul.
Singkat cerita, bertahun-tahun kemudian, Rustam menjadi salah satu orang yang dibebaskan. Musababnya ialah kamp pembuangan Boven Digul tersebut menghabiskan anggaran yang cukup besar. Maka diputuskanlah, orang-orang yang dianggap tidak terlalu berpengaruh/bermasalah dapat dipulangkan.
Sepulangnya dari Digul, kehidupan Rustam berubah drastis. Seumur hidupnya kemudian, dia mendapat cap ex-Digulist dan seolah derajatnya tidak sama dengan masyarakat lain. Karena cap ex-Digulist inilah, lamarannya ditolak oleh keluarga Cindai. Keluarga Cindai beranggapan derajat Rustam terlalu jauh dibawah keluarga mereka.
Tak putus asa dan juga atas ikatan cinta mereka yang kuat, Rustam dan Cindai kabur ke Sipirok tempat pamannya Rustam, lalu kawin disana. Tanpa pesta, adat dan keluarga dari pihak Cindai dengan kata lain kawin lari. Dan setelah menikah mereka berniat untuk menetap di Sipirok.
Akhir cerita ini tidak indah seperti yang diharapkan. Kurang dari dua minggu kemudian, pihak keluarga Cindai mengirim utusan untuk memanggil Cindai dan Rustam pulang ke Pematang Siantar dan akan diadakan kenduri kecil di Rumah Cindai, tanda bahwa keluarga Cindai telah menyetujui perkawinan mereka. Namun, itu semua bohong. Ketika hari kenduri berlangsung, setelah Doa dan perjamuan makan, ayah Cindai membuka pembicaraan, dia memulai berpidato dan menyampaikan bahwa tujuan dari kenduri ini yang sebenarnya ialah untuk menceraikan Rustam dan Cindai. Perselisihan terjadi, antara Cindai dengan ayahnya, agar mereka tidak diceraikan. Begitu juga antara keluarga dari Rustam dan keluarga dari Cindai yang berusaha untuk meminta agar pernikahan ini tetap berlangsung. Buntu, tidak ada kata sepakat antara kedua belah pihak. Pengadilanlah kemudian yang harus memutuskan. Namun, tragisnya ketika hari pengadilan berlangsung Cindai tidak dapat berkata apa-apa selain tidak, termasuk ketika hakim bertanya, “Apakah betul ia cinta kepada laki-laki yang melarikannya itu ke Sipirok?”
2. Darah dan Air Mata di Boven Digul
Cerita kedua ini merupakan sebuah roman percintaan yang latar belakangnya perjalanan para tahanan yang akan memulai hidupnya di Boven Digul. Mereka sedang melalui perjalanan laut menuju Boven Digul. Mereka datang dari berbagai latar belakang, tidak hanya akar rumput yaitu petani, buruh dan kalangan kelas bawah, kaum yang banyak tertarik perhatiannya untuk bergabung dalam gerakan Communist, tapi juga terdapat saudagar dan bangsawan didalam mereka. Tidak hanya orang yang dari darah dan hatinya sudah Communist, tapi juga orang yang menjadi Communist karena dorongan lain seperti untuk mengejar cinta. Seperti Margono salah satu karakter dalam cerita tersebut, seorang anak bangsawan yang hidup berkecukupan kemudian terpaksa menjadi Communist, melakukan propaganda, menyenggol penguasa agar dapat ditandai dan kemudian dapat dibuang ke Boven Digul untuk mengejar kekasih hatinya, Aminah, yang mengikuti orang tuanya ketanah buangan.
Kisah Margono merupakan kisah utama dari cerita ini. Tentunya kisah tersebut dibumbui dengan drama disepanjang perjalanannya, tidak hanya drama tentang perjuangan cinta dan kepedihan Margono tersebut, namun juga kisah pribadi dari setiap tokohnya dalam interaksi mereka selama perjalanan laut menuju Boven Digul dan sepanjang memulai hidup baru di tanah buangan tersebut.
Dalam perjalanan yang menjemukan tersebut, hanya laut yang mereka temui disepanjang mata memandang. Hidup diantara sesama orang buangan, kontan banyak interaksi dan dialog yang terjadi diantara mereka. Margono menjadi pusat perhatian dengan berani dia berorasi untuk menguatkan sesama mereka dikapal tersebut yang sedang menghadapi kehidupan kedepan yang tidak menentu. Semua dari mereka membayangkan akan menghadapi kehidupan baru ditempat yang mereka ketahui sebagai tanah buangan yang dijadikan tempat untuk mentawan orang-orang yang dianggap berbahaya dan meresahkan pemerintah. Kehidupan terpenjara dari dunia luar ditengah-tengah hutan belantara Papua yang belum terjamah. Berbatasan langsung dengan sungai yang dalam disatu sisinya dan hutan yang luas yang menjadi tempat tinggal tidak hanya kehidupan rimba namun juga suku asli Papua yang saat itu belum berinteraksi dengan dunia luar. Nyawa adalah pertaruhannya jika memaksa untuk kabur dari situ.
“Ya, kita berduka lantaran kita bakalan pergi kesuatu tempat yang kita belum tahu keada’annya, dan terutama lantaran kita merasa diri kita ini menjalankan hukuman, dibuang, tidak merdeka, tidak boleh balik ketempat sendiri buat melihat pula itu segala apa yang kita cinta di sana.
.
.
Boven Digul yang kita tuju sebenarnya ada satu surga buat kita, yang menjadi communist lantaran susahnya penghidupan, karena di sana apa segala yang kita perlu buat hidup ada tersedia, disediakan pemerintah, dan kita juga merdeka buat lakukan segala apa yang menjadi keinginan hati.”
Begitulah penggalan orasi yang disampaikan Margono, akibat dari orasi tersebut semua orang tahu Margono dan ingin dekat-dekat dengannya untuk sekedar berkenalan hingga bertukar-pikiran. Beberapa diantara mereka ialah Haji Barmawi, seorang yang kaya raya dan terpandang dikampung. Sebuah pertanyaan besar kenapa Haji Barmawi yang kaya raya tersebut ikut bergabung menjadi Communist, apa yang sebenarnya diperjuangkannya? Orang-orang lainnya yang terlibat dalam diskusi mendalam dengan Margono sepanjang perjalanan mereka ialah pasangan suami istri, Sugiri dan Mariyah. Sugiri juga merupakan anak dari orang kaya raya dikampungnya, semasa muda dia tergabung dalam gerakan Communist karena pengaruh teman-temannya. Sedangkan Mariyah hanya mengikuti suaminya. Atas desakan mertuanya, ayah dan ibu dari Sugiri, Mariyah akhirnya ikut juga dengan suaminya ketanah buangan tersebut.
Dialog yang terjadi antar mereka berputar disekitaran tentang perjalanan hidup mereka, mulai dari mengapa mereka bisa mengikuti paham Communist hingga apakah mereka takut menjalani hidup kedepannya. Haji Barmawi yang menjadi panutan dan tetua diantara mereka mempunyai jiwa yang kuat, semakin dekat kapal ketempat tujuannya, semakin senang dia. Sama seperti Margono sebelumnya yang juga tidak memandang bahwa kehidupan kedepan yang bakalan mereka hadapi akan menjadi derita. Haji Barmawi yang merupakan seorang yang telah menunaikan ibadah Haji dari hanya sedikit orang yang mampu menunaikan kewajiban agama tersebut secara ekstrem berbalik menjadi Communist dan memusuhi agama. Sebabnya ialah karena dia selama hidupnya kerjaannya cuman menghambur-hamburkan uang, menyia-nyiakan istrinya yang setia dengan kawin lagi hingga dua kali. Sialnya istri kedua dan ketiganya tidak mencintainya sama sekali, malahan menyeleweng dibelakangnya. Dia seolah disadarkan bahwa selama ini dia hanya menindas orang lain dan menggunakan agama hanya untuk memuaskan nafsunya. Tidak ada orang yang benar-benar mencintainya dengan tulus selain istri pertama yang disia-siakannya, orang-orang senang didekatnya karena uang dan kuasa yang dimilikinya, termasuk dua istri lainnya yang kawin dengannya tidak dengan perasaan cinta.
Dialektika yang terjadi dalam cerita ini sungguh menarik, sisipan-sisipan dalam setiap obrolan dari tokoh-tokoh ini sedikit banyak menjelaskan bagaimana Communist pada saat itu menjadi ideologi untuk memperjuangkan kesetaraan kekayaan dimasyarakat. Tapi pada faktanya communist cuman berkembang dikalangan bawah dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik kepada mereka karena terjadinya sistem tanpa kelas dimasyarakat serta alat produksi dimiliki oleh bersama dan diatur oleh negara. Dengan ini jadi memungkinkan tidak terjadinya jarak yang lebar antara simiskin dan sikaya karena terjadi keseimbangan sosial masyarakat dalam hidup tanpa perbedaan kelas dan kepemilikan properti secara pribadi.
Namun pada akhirnya ideologi communist menjadi tidak relevan karena pada kenyataannya mereka yang lebih rajin atau mereka yang kuat berjuang dalam mencari penghidupan tidak mau berbagi dengan mereka yang malas. Haji Barmawi menjelaskan hal tersebut dalam dialognya dengan Margono, Subari, Mariyah dan orang-orang lain dalam sebuah diskusi di dok kapal saat itu. Aku mengakui bahwa penulis cerita ini sangat cerdas dalam menyampaikan makna-makna mendalam dari satu pemikiran yang dipahaminya.
Balik ke inti cerita percintaan Margono. Puncak konflik dari cerita ini dimulai ketika Margono yang menjadi komunis itu demi mengejar cintanya hingga ke Boven Digul menemukan Aminah saat itu telah dinikahkan oleh orang tuanya dengan Mardisaputro. Margono kecewa berat dan hampir menyesali semua tindakan bodoh yang dilakukannya ini. Aminah pun begitu, menyesal telah tidak percaya terhadap Margono yang akan menepati janjinya untuk menyusul Aminah ke Boven Digul. Ingat sebelumnya bahwa Margono itu anak bangsawan, sehingga tidak mungkin bagi Margono ikut terlibat dalam gerakan communist ini untuk memperjuangkannya, pikir Aminah saat itu.
Rekonsiliasi terjadi pada diri Margono, Ia memulai hidup baru ditanah buangan dan berusaha menerima kenyataan pahit tersebut. Begitu juga dengan yang lainnya, termasuk Aminah yang telah lebih dahulu tiba di Boven Digul. Dia tinggal bersama suaminya Mardisaputro disatu rumah, berdekatan dengan rumah orang tua Aminah.
Setiap orang disitu berusaha mendapatkan penghidupan yang lebih baik, bertani, berkebun, beternak. Perlahan-lahan terbentuklah kampung-kampung dan dilengkapi semua fasilitasnya, ada listrik, rumah sakit, kantor pemerintahan. Sungai Digul menjadi pusat kehidupan disitu. Masyarakat menggunakannya untuk mengambil air bersih, mengairi sawahnya, mencuci pakaiannya disitu juga. Suatu saat ketika ibu-ibu sedang mencuci pakaian disungai itu, mereka mendapati bahwa sungai tersebut airnya berubah menjadi merah, seperti bercampur darah.
Para pria dikampung tersebut menelusuri sumber warna itu dari mana, hingga mereka menemukan mayat pria tidak jauh dari tempat ibu-ibu tersebut mencuci. Mayat Mardisaputro, suami dari Aminah. Usut punya usut kehidupan Mardisaputro berlangsung dengan suram. Bukan hanya karena penderitaan karena ditanah buangan tersebut, harus bekerja secara paksa untuk membangun Boven Digul menjadi kamp yang dapat menampung ribuan orang buangan tersebut, menghadapi kenyataan bahwa kemerdekaan mereka dikekang, menghadapi wabah Malaria yang mematikan disana dan kesusahan-kesusahan hidup lainnya. Penderitaan Mardisaputro ditambah dengan kenyataan bahwa istrinya tidak benar-benar mencintainya, terlebih setelah kedatangan Margono. Amirah dan Margono dalam banyak kesempatan curi-curi waktu untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Kelakuan mereka berdua tersebut terus-terusan terjadi dibelakang Mardisaputro.
Sebelum mengakhiri hidupnya dengan menusukkan sebuah pisau keperutnya sendiri, Mardisaputro mendapati sebuah surat kaleng yang dari orang yang mengaku sahabatnya. Surat tersebut menyebutkan perlakuan istrinya yang menyeleweng. Perseteruan terjadi antara Mardisaputro dan Amirah. Amarahnya tidak terbendung ketika Mardisaputro juga mendapati pengakuan dari mulut Amirah langsung. Namun perasaan sayangnya terhadap Amirah mengalahkan marah tersebut. Mardisaputro mengalah dan merelakan Amirah. Mardisaputro harus pergi.
Cerita tersebut ditutup dengan kegamangan Margono dan Amirah mendapati pengorbanan Mardisaputro tersebut. Mereka melanjutkan hidup, menerima pengorbanan Mardisaputro tersebut dan hidup berdua sebagai sepasang suami istri yang direstui oleh orangtua Amirah kemudian. Begitu juga dengan Sugiri dan Mariyah serta orang-orang lainnya. Kisah ini berakhir dengan mereka yang berusaha bahagia ditanah buangan itu.
3. Pandu Anak Buangan
Lagi-lagi cerita ini tentang cerita cinta. Namun kali ini tentang kepahitan karena patah hati dari seorang buangan di Boven Digul. Begitulah inti dari cerita Pandu Anak Buangan ini. Awal mulanya, Pandu seorang anak dari pasangan suami istri dari kelas bawah di Madiun diminta oleh orang tuanya untuk bekerja di kantor Wedana, kantor pemerintahan setingkat distrik di Madiun. Pekerjaannyapun cuman sebagai anak magang tidak dibayar. Ayah Pandu yang cukup berpikiran maju, ingin anaknya tidak cuman menghabiskan masa mudanya dengan main-main. Setidaknya walaupun bekerja tidak dibayar, Pandu tidak kelayapan kesana kemari.
Bekerja di kantor Wedana saat itu cukup terhormat dikalangan masyarakat. Karena memang ada harapan bahwa pegawai-pegawai rendahan itu atau bahkan pegawai magang yang tidak dibayar tersebut suatu saat nanti dapat berkesempatan berubah nasibnya menjadi priyayi, orang yang berstatus sosial tinggi dimasyarakat hanya karena mereka menjadi kacung-kacung Kolonial dikantor pemerintahan. Terbukti posisi Pandu dipandang tinggi oleh salah seorang juru tulis dikantor asistent Wedana tersebut, dia menginginkan Pandu untuk menjadi menantunya. Dia berencana menikahkan Pandu dengan anak perempuannya. Tidak hanya sampai disitu, ayah mertua Pandu ini bahkan bersedia membiayai rumah tangga menantu dan anaknya, mengingat Pandu yang saat itu masih menjadi pegawai magang yang tidak dibayar.
Setelah menikah, kehidupan Pandu juga membaik, akhirnya dia mendapat gaji seringgit setiap bulannya. Selain bekerja, Pandu juga terlibat aktif dalam dalam pergerakan Serikat Islam Semarang atau Sarikat Islam merah. Pandu terlibat dalam gerakan ini karena ayahnya juga simpatisan Perhimpunan Sarikat Islam, awal mulanya Pandu banyak berinteraksi dengan orang-orang Serikat Islam yang menginap dirumahnya yang sedang melancarkan propagandis mereka di Madiun.
Mertuanya Pandu yang orang pemerintahan tulen, walau hanya seorang juru tulis dari Asisten Wedana tidak setuju dengan kegiatan Pandu. Berulang kali dia menasehati Pandu supaya keluar dari pergerakan organisasi itu. Namun, Pandu tetap berkeras dan semakin menjadi. Singkat cerita mertuanya memaksa mereka untuk cerai dan tidak mengizinkan bung Pandu ini untuk bertemu istrinya lagi. Ini membuat pergerakan bung Pandu semakin menjadi. Dia juga bertemu wanita baru yang mengisi hidupnya, namanya Zus Emi. Dalam pergerakannya bersama Partai Komunis, bung Pandu menikahi Zus Emi. Namun tidak sempat lama mereka bersatu, mereka harus berpisah karena Pandu dipenjara. Dan kemudian Pandu harus dibuang ke Boven Digul.
Tidak menjadi perkara besar bagi Pandu untuk dibuang ke Boven Digul, karena dia tahu istrinya akan ikut dengannya bersama ke Boven Digul. Dengan begitu yakin, Pandu menerima hukuman tersebut. Membayangkan setidaknya hukuman buangan tidak akan menjadi buruk, karena ada istrinya yang akan menemaninya. Namun semua apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan. Ternyata Zus Emi, istrinya bung Pandu tidak jadi ikut ke Boven Digul. Ketika kapal yang membawa Pandu ke Boven Digul merapat ke pelabuhan dan saat-saat para tahanan bisa naik kekapal dan menemui penumpang lainnya yang merupakan kerabat yang turut juga didalam kapal tersebut, disaat itulah Pandu menyadari bahwa istrinya tidak ikut menumpang kapal tersebut seperti yang dijanjikan dalam surat-suratnya saat Pandu masih ditahanan.
Cerita di pengasingan menjadi pengalaman yang berbeda sama sekali bagi Pandu, putus cinta, patah arang membuat Pandu menjalani hari-harinya di Boven Digul menjadi penuh dengan penderitaan. Dia menyendiri dan tidak suka berkumpul-kumpul dengan teman-temannya yang lain. Dia juga menjauh dari wanita dan tidak mau berinteraksi sama sekali dengan para wanita. Dia menganggap bahwa wanita itu makhluk jahat yang telah mematahkan hatinya dua kali.
Pandu Kabur dari Digul
Hidup menderita di Boven Digul membuat Pandu dan kawan-kawannya berpikir untuk kabur dari Boven Digul. Mereka merencanakan dan mempersiapkan diri mereka untuk kabur. Ketika semua persiapan sudah matang dan semua perlengkapan kebutuhan dan perbekalan yang sekiranya mereka butuhkan diperjalanan telah lengkap, mereka pergi diam-diam. Dari sinilah cerita babak baru kehidupan bung Pandu dimulai. Perjalanan kelompok ini untuk selamat keluar dari Boven Digul sungguh menyedihkan, banyak tantangan dan bencana yang mereka lalui. Hutan Papua yang lebat, sungai-sungai yang dalam dan berawa, tidak adanya makanan, wabah malaria yang mematikan serta bertemu dengan penduduk asli Papua, suku Kayakaya.
Suatu ketika setelah belasan hari didalam hutan, bung Pandu yang malang terserang malaria. Karena tidak mampu lagi berjalan dan dirasa bahwa tidak ada harapan lagi bung Pandu untuk selamat, teman-temannya yang 4 orang ini meninggalkan bung Pandu ditengah hutan sendirian, dengan sedikit saja perbekalan. Pandu berusaha bertahan hidup sebisanya, ketika haus dia merangkak-rangkak mencari air disekitarnya. Ketika lapar dia makan dari bekal yang ada. Saat itu ketika Pandu sudah tidak mampu lagi bergerak sehingga dia memutuskan hanya tiduran, sekelompok orang Kayakaya menemukan dia. Dengan pasrah, Pandu tidak berbuat apa-apa dan menyerahkan diri begitu saja. Mereka tidak banyak berkomunikasi karena tidak saling mengerti bahasa satu sama lain.
Oleh orang Kayakaya ini, Pandu dibawa kekampung mereka, dirawat hingga sembuh. Suku Kayakaya ini akan mengantarkan Pandu pulang kembali ke Boven Digul dan berharap mendapat balasan kebaikan dari masyarakat di perkampungan Boven Digul karena telah mengantar Pandu pulang kembali dengan selamat. Setidaknya mereka berharap akan mendapat buah tangan yang bisa dibawa pulang ke kampung Kayakaya, seperti pakaian, peralatan, rokok dan lainnya. Namun, Pandu yang sudah bersusah payah kabur, jelas tidak ingin balik lagi ke Boven Digul. Dia berpikir berbagai cara agar tetap tinggal di perkampungan suku Kayakaya ini. Dia mengajari suku Kayakaya berbagai pengetahuan praktis, mulai dari membuat sapu, membuat tampi dan berbagai peralatan anyaman lainnya dari bambu. Suku Kayakaya mulai menyukai Pandu dan selalu ketika ada satu masalah mereka datang ke Pandu. Suatu ketika wanita tercantik dikampung itu tiba-tiba sakit, segala tabib dan orang pintar telah berusaha untuk menyembuhkan wanita ini. Namun tidak ada yang berhasil, kemudian dibawalah wanita ini ke Pandu dan secara menakjubkan wanita ini dapat sembuh, tentunya dengan perlahan-lahan. Usut punya usut ternyata wanita ini patah hati karena pernah ditolak cintanya oleh Pandu dan tentu saja ketika dibawa ke Pandu, dia mengetahui obat yang paling mujarab menyembuhkan wanita ini.
Melihat hal itu, raja suku Kayakaya memutuskan menikahkan Pandu dan wanita itu, Pandu tidak bisa menolak, karena dia masih ingin tetap tinggal di kampung itu. Seandainya dia juga menolak tentu raja akan sangat marah dan bisa jadi tidak lagi mengusir Pandu, tapi membunuhnya. Mau tak mau Pandu menurutinya.
Setelah satu setengah tahun dia berada di Perkampungan suku Kayakaya dan 6 bulan dia menikah dengan Wanita dari suku Kayakaya, hari itu datang juga, ketika tentara sampai ke perkampungan tersebut. Tidak ada niatan sebenarnya tentara itu untuk mengganggu, mereka hanya lewat dan kemudian singgah ke perkampungan itu. Mereka memeriksa perkampungan itu dan mendapati satu orang yang berbeda dari suku Kayakaya lainnya, rambutnya tidak keriting. Ya tentu saja itu Pandu, walau sudah lama tinggal dengan suku Kayakaya dan mengikuti hidupnya suku Kayakaya dengan tidak berpakaian, tetap saja Pandu kelihatan berbeda.
Akhirnya Pandu ditangkap dan dia dikembalikan ke Boven Digul. Proses penangkapannya sempat berlangsung ricuh, karena istrinya Pandu yang sekarang ini memberontak dan meminta raja untuk mencegah tentara itu untuk membawa Pandu. Namun apa daya, dengan tangisan dan kesedihan si Okini, nama istri Pandu yang sekarang ini melepaskan kepergian Pandu.
Setelah sekian lama Pandu balik ke Boven Digul, Okini dan beberapa orang-orang Kayakaya lainnya datang ke Boven Digul. Mereka bermaksud untuk bertemu Pandu dan mempertemukannya kepada Okini dan anaknya. Namun ketika orang-orang Kayakaya menemui Pandu, dia tidak mengakui kalau dia pernah menikah dengan seorang wanita suku Kayakaya. Dia juga tidak mengakui anaknya. Dengan perasaan sedih Okini dan orang Kayakaya yang datang ke Boven Digul ini pulang kembali kekampungnya.
Pada awalnya semua kembali seperti biasa tidak ada yang peduli kejadian itu lagi setelah Okini dan orang Kayakaya tersebut balik kehutan. Namun semakin lama semakin tersebarlah cerita tentang kejadian yang sebenarnya ke seantero penduduk Boven Digul bahwa ternyata Okini, perempuan Kayakaya yang sempat datang ke Boven Digul beserta dengan anak bayi dalam gendongannya tersebut merupakan istri dan anak kandung dari Pandu. Sejak mengetahui kejadian yang sebenarnya tersebut, banyak orang yang mengejek Pandu dengan sebutan celeng (babi hutan), setiap dia berjalan entah kemana, orang selalu memanggilnya dengan sebutan itu.
Cerita ini berakhir menyedihkan, tak tahan dengan hukuman sosial yang diberikan oleh warga tersebut, Pandu bermaksud datang ke kampung Kayakaya berniat mengambil istri dan anaknya lagi. Namun belum sempat dia melakukan niatnya tersebut, dia mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya dari salah seorang orang Kayakaya tentang nasib istrinya. Orang Kayakaya ini bercerita kepadanya bahwa istrinya telah meninggal dunia terkena penyakit jantung karena mencintai seseorang pria namun cintanya merasa tidak dihargai. Begitu juga anaknya, mati terlebih dahulu karena mendapat asupan susu dari ibunya yang sakit-sakitan.
4. Antara hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul
Cerita selanjutnya ini berkutat tentang perjuangan sekelompok orang buangan yang berusaha kabur dari Boven Digul. Tersebutlah orang-orang buangan itu Sujito, Kamlin, Rusman, Suwirjo
Ada berbagai macam motivasi mereka untuk kabur dari Boven Digul, salah satunya Sujito yang mempunyai motivasi untuk pulang ke Semarang, ingin kembali bersama istrinya Rusmini yang sialnya telah menikah kembali karena kebutuhan untuk membiayai anak-anak mereka. Memang tidak ada motivasi yang lebih kuat selain cinta, merebut kembali cintanya. Mereka yang lain tentu punya beragam motivasi, tapi bisa disimpulkan mereka semua ingin bebas dari tanah buangan ini.
Mereka sudah mempunyai rencana matang untuk kabur dari Boven Digul. Mulai dari rute yang akan dilalui, kemana arah dan tujuan, semua perlengkapan serta tekad. Semua sudah mereka persiapkan. Mereka berencana membelah lebatnya hutan Papua, menyusuri sungai Fly dan kemudian kabur ke daerah Papua lainnya yaitu Nieuw-Guinea yang dijajah Inggris. Mereka telah memikirkan matang-matang strategi ketika memasuki daerah kekuasaan Inggris nanti, bila tiba, mereka akan membiarkan diri mereka ditangkap, membiarkan diri mereka dipenjara yang selama-lama-nya paling cuman sekitar 6 bulan dan setelah selesai mereka akan dapat passport Inggris, kemudian bebas. Itu dalam angan-angan mereka.
Pada suatu malam, tepat pukul 12 mereka memulai perjalanan mereka. Menyusuri hutan menjauh dari perkampungan, agar mereka tidak bertemu penjaga. Mereka menuju sungai Digul, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan perahu mengarungi sungai itu. Disinilah petualangan mereka dimulai, dengan menggunakan perahu mereka berharap dapat lebih cepat sampai ke muara sungai dan bisa menyeberang ke daerah jajahan Inggris sesuai rencana mereka. Sujito yang menjadi komandan mereka, juga merangkap jadi juru mudi perahu tersebut yang lain pelan-pelan mengkayuh, bergantian. Tidak terlalu susah memang karena mereka mengarungi sungai searah arus.
Semalam telah mereka lalui, pagi itu dilalui dengan tenang tanpa berhenti dengan harapan mereka dapat mencapai muara sungai Uwinmerah dengan segera. Namun perjalanan tidak semudah itu. Siang itu mereka bertemu dengan seekor buaya, berusaha menyelamatkan diri dengan melompat ke pinggir sungai dan langsung kedaratan, tapi mereka harus kehilangan perbekalan mereka, tenggelam kesungai. Masih shock dengan kejadian yang baru mereka lalui, mereka memutuskan untuk berkemah terlebih dahulu. Berbagi tugas, ada yang membuat perapian, ada yang membuat kemah dan ada yang pergi memancing. Beruntung mereka dapat bekal tambahan dari memancing. Setelah kenyang mereka melanjutkan perjalanan, namun kali ini mereka merubah strategi, harus ada orang yang berjaga dan mengendalikan perahu. Karena sebelumnya, mereka lalai sehingga ketika ketemu buaya mereka tidak siap. Setiap dua jam digilir waktu berjaga. Setiap waktu jaga harus ada 2 orang yang baugn dan berjaga.
Lepas dari buaya, salah satu dari kawanan yang kabur ini yaitu Suwirjo menderita demam tinggi. Mengetahui Suwirjo demam, dia diletakkan ditengah perahu dan tidak ikut mendayung. Dia diberi tablet obat Malaria. Apa yang dialami Suwirjo merupakan ciri-ciri Malaria, demam tinggi, keringatan, pusing-pusing, pinggang pegal dan tidak selera makan. Teman-temannya berusaha merawat agar kondisi Suwirjo membaik, mereka memutuskan beristirahat dan membuat makanan. Nasib baik mereka menemukan bekas sarang kura-kura dan mendapatkan telur kura-kura yang lezat untuk disantap. Setelah melepas penat dan makan, mereka melanjutkan kembali perjalanan, tetap Suwirjo yang masih sakit mendapatkan perawatan dan tidak ikut mendayung. Saat itu kondisi Suwirjo makin parah, demamnya makin tinggi. Satu gejala yang paling menyeramkan yang dihadapi orang yang menghidap malaria, ialah kencingnya hitam dan saat itu Suwirjo sudah mengalaminya. Mereka yang paham kondisi ini, mengetahui bahwa kondisi Suwirjo tidak bakalan bertahan lebih lama lagi. Segala daya upaya telah dikerahkan untuk merawat Suwirjo, memberinya makan, susu dan tablet pil anti malaria, namun Suwirjo akhirnya lewat, sampai disitu.
Sisa 6 orang dari kelompok pelarian itu. Sudah 4 hari pelarian mereka, sudah dua bencana yang mereka hadapi dan memakan satu korban teman mereka. Namun mereka masih harus melanjutkan perjalanan. Dalam diam perahu mereka membelah sungai, mengikuti arus. Pancing dilempar untuk hiburan, riak-riak yang dibuatnya sesekali memalingkan hati mereka yang sedih. Beberapa jam berlalu dengan sekian banyak ikan yang mereka dapat, mereka menyadari bahwa terjadi perubahan air sungai, menjadi lebih keruh. Awalnya mereka mengira bahwa mereka sudah dekat ke hilir, namun salah, perubahan air yang sangat cepat bukan karena posisi mereka sudah mendekati hilir, melainkan air sungai berbondong-bondong bergerak dari atas. Banjir.
Namun telat, begitu mereka telah menyadari apa yang mereka akan hadapi, mereka sudah hanyut kebagian sungai yang pinggir-pinggirnya rawa-rawa, berlumpur dan dalam. Mereka tidak bisa menemukan daratan yang kering yang bisa mereka gunakan untuk melabuhkan perahu mereka. Terpaksa mereka harus menghadapi banjir itu, dengan segala benda yang hanyut didalamnya, batang kayu, sampah, ranting dan lain sebagainya. Sujito yang menahkodai perahu tersebut, berusaha menghindar kayu-kayu besar yang ikut terhanyut banjir. Belok kekiri dan kekanan, hingga akhirnya satu kayu besar tidak bisa dihindari mereka membuat perahu mereka terguling. Semua barang mereka diperahu hanyut, begitu juga dengan semua penumpangnya. Sujito dan dua kawannya waktu itu sudah berada diatas perahu kembali dan bisa mengendalikan keadaan. Satu orang lagi tenggelam terbawa arus menuju hilir. Mereka yang sudah diperahu segera mengambil tali yang masih tersisa dan menyelamatkan teman mereka yang hanyut. Tali tersebut dapat menjangkaunya dan perlahan-lahan mereka dapat menaikkan teman mereka ke perahu. Dua lagi? Entahlah mungkin sudah terbawa arus. Barang-barang yang tersisa cuman 6 kaleng kecil beras dan beberapa tembakau serta kompas. Mereka segera menepi dan menenangkan diri. Dengan apa yang ada saat itu mereka memasak makanan, sementara Sujito dan seorang lainnya pergi ke perahu untuk menyelamatkan Kamlin. Dari tempat mereka memasak mereka dapat mendengar suara minta pertolongan dari Kamlin yang mungkin sedang hanyut sambil menjauh terbawa arus.
Beruntung Kamlin selamat, namun satu lagi teman mereka tidak diketahui nasibnya. Sisalah mereka berlima dalam pelarian tersebut. Mereka melanjutkan perjalanan disiang hari, karena ketika malam, mereka takut tidak bisa melihat apa-apa. Mungkin saja akan banjir lagi. Berjam-jam mereka mengarungi sungai, sampailah mereka ke salah satu kampung suku Kayakaya. Mereka turun dari perahu dan menemui orang Kayakaya yang berjaga diluar rumah mereka. Dengan bahasa seadanya mereka berucap Kaimo, Kaimo yang artinya baik. Menandakan maksud mereka berlima datang tidak dengan maksud jahat. Beruntung mereka kenal dengan salah seorang dari mereka, Komorok namanya. Dia pernah datang ke Boven Digul untuk berkunjung. Mereka berlima dijamu oleh suku Kayakaya diberi makan dan diperbolehkan menginap. Sujito juga bertanya kepada komorok berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sungai Fly? Komorok menjelaskan dengan bahasa isyarat bahwa untuk mencapai sungai Fly mereka butuh waktu hingga 5 hari. Semua terdiam, mengingat lama waktu yang dibutuhkan untuk hanya sekedar mencapai sungai Fly.
Suku Kayakaya menyambut mereka dengan baik, mereka mengadakan pesta kecil untuk menghormati tamu mereka yang sudah berbaik hati memberikan rokok dan barang-barang kepada mereka. Sujito sejak awal telah memberikan sisa-sisa dari kepunyaan mereka, rokok dan pakaian-pakaian lainnya. Kenyang dengan jamuan tersebut, mereka tidur dan menginap di perkampungan Kayakaya tersebut. Diantara mereka berlima tidak ada yang nyenyak tidur, karena ketakutan terhadap nasib yang akan dihadapi. Mereka takut kalau besok pagi mereka akan dibunuh oleh suku tersebut. Sebelumnya mereka telah mendengar selentingan bahwa ada sekelompok suku Kayakaya yang suka membunuh dan memakan manusia. Karena tidak tenang malam itu, mereka memutuskan untuk kabur dari kampung Kayakaya tersebut, berusaha menyelamatkan diri. Namun sial dalam usaha mereka untuk kabur, dua teman mereka terpanah dan tertangkap. Sehingga sisalah mereka bertiga Sujito, Rusman dan Kamlin. Dengan tenaga yang tersisa, mereka terus berjalan menjauh. Banyak rintangan lagi yang mereka lalui setelah itu, mereka sempat bertemu ular besar yang hampir saja melilit salah satu dari mereka. Beruntung dua lainnya dalam sekejap melompat dan membunuh ular tersebut. Langsung saja mereka bakar dan santap ular tersebut. Mereka juga dapat mencapai sungai Fly dan mengarunginya, hingga mereka dapat mencapai hilir sungai Fly, daerah jajahan Inggris.
Sesuai rencana mereka mencoba masuk ke perkebunan disitu. Mereka ditangkap oleh pemilik kebun, namun mereka tidak disiksa. Keesokan harinya mereka diserahkan kepemerintah Inggris dan dipenjara. Itu sesuai dengan rencana mereka. Dalam hati mereka cuman 6 bulan penjara dan kemudian mereka akan mendapatkan passport Inggris. Namun tidak berapa lama dalam penantian mereka dipenjara, diminggu kedua, mereka dibawa keluar sel, namun bukan kebebasan dan passport yang mereka dapatkan setelah itu. Mereka dibawa dan diserahkan kepemerintah Belanda, untuk kemudian dibawa kembali ke Boven Digul. Suatu penghabisan cerita yang menyedihkan, susah payah berusaha kabur, toh mereka balik juga ke Digul. Dua orang teman mereka yang tadinya tertangkap oleh suku Kayakaya sudah lebih dulu tiba di Digul, menunggu Sujito, Rusman dan Kamlin
5. Minggat dari Digul
Cerita terakhir dari buku ini sama seperti cerita sebelumnya, berkisah tentang orang-orang yang berusaha kabur dari Boven Digul. Pertama-tama diceritakan dua orang dari orang-orang buangan tersebut yang bernama Sontani dan Soleh, mereka berniat untuk kabur. Suatu malam setelah mereka mempersiapkan bekal dan perlengkapan yang sekiranya dibutuhkan selama perjalanan, mereka memulai perjalanan keluar dari perkampungan di Boven Digul. Sontani dan Soleh ini tinggal di Kampung A, kampung yang awal-awal berdiri di Boven Digul. Nama-nama perkampungan di situ, dinamai dengan huruf-huruf Alfabet, mulai dari Kampung A, B hingga Kampung F.
Sontani sebenarnya merupakan orang buangan yang cukup berhasil ditanah buangan ini, dia mampu mengusahakan sekitarnya sehingga mampu membuat rumah yang cukup untuk dirinya dari kayu-kayu besar dan terpilih dari hutan. Karena berasal dari kayu-kayu yang bagus itu pula, rumahnya terlihat kokoh dengan dua tiang-tiang dari kayu bulat yang besar. Namun semua itu dengan berat hati harus ditinggalkan oleh Sontani, demi berharap penghidupan yang bebas diluar tanah buangan.
Dalam senyapnya malam mereka berjalan perlahan-lahan ditemani cahaya terang bulan. Selama perjalanan banyak cerita dan kejadian yang mereka alami. Bayangkan saja, berjalan diam-diam agar tidak ketahuan orang lain dan penjaga saat itu, mereka berulang kali tersesat. Lalu perjalanan ini merupakan perjalanan membelah hutan Papua yang lebat dan berbeda sama sekali dengan hutan di Jawa. Berbagai derita menghantui, penyakit malaria, bertemu suku asli dipedalaman Papua, suku Kayakaya namanya, harus menyeberangi sungai, mulai dari yang kecil dan dangkal hingga yang besar dan dalam. Diceritakan dalam cerita tersebut suatu ketika Sontani hanyut ketika menyeberangi sungai, mereka mengira bahwa sungai-sungai besar disana bisa disebrangi dengan berenang saja, namun salah. Walau sungai itu terlihat tenang airnya, namun arusnya dibawah sangat kuat. Dari Hulu hingga mendekati Hilir, hutan Papua masih tak tersentuh, membuat air dari hulu mengalir sepanjang tahun dengan derasnya.
Dilain waktu mereka pernah kehabisan bekal, mereka mengusahakan banyak hal dihutan, mulai dari memancing disungai, membuat sagu sebagaimana meniru suku Kayakaya dalam membuat sagu, hingga memakan apa saja yang ditemui dan bisa dimakan tentunya. Suatu ketika mereka menemui sarang burung Kasuari, dengan waspada mereka memeriksa sarang itu dan menemui beberapa telur didalamnya. Hati mereka girang, karena mendapatkan makanan baru yang lebih enak daripada sagu yang selama ini mereka makan.
Dalam perjalanan mereka, suku kayakaya banyak membantu. Sontani dan Soleh mengenal beberapa orang Kayakaya dari berbagai kampung Kayakaya yang mereka lewati. Sontani dan Soleh dapat mengenal mereka karena selama di Tanamera, banyak suku Kayakaya yang berkunjung kesitu. Suku Kayakaya suka berkunjung ke Tanamera karena mengharapkan dapat bertukar barang-barang dengan penduduk di tanah buangan tersebut. Suku Kayakaya akan membawa hasil hutan dan berharap menukarkannya dengan pakaian, kapak, golok, rokok dan lain sebagainya. Bagi mereka yang tidak mempunyai apa-apa juga untuk ditawarkan akan datang dengan tenaganya untuk mengerjakan sesuatu membantu penduduk disitu, sehingga dengan itu mereka dapat diberi sesuatu sebagai imbalannya.
Setiap melewati satu perkampungan suku Kayakaya, Sontani dan Soleh akan mencari teman-teman yang dikenalnya. Bila mereka mengenal salah satu dari antara suku-suku Kayakaya tersebut, Sontani dan Soleh akan merasa senang. Mereka mengajak suku Kayakaya tersebut mengobrol, walau sebenarnya Sontani dan Soleh tidak banyak mengerti bahasa Kayakaya dan begitu juga sebaliknya orang-orang Kayakaya tidak banyak tahu bahasa Indonesia. Mereka berkomunikasi dengan sepatah-patah kata yang mereka mengerti diikuti bahasa isyarat menggunakan gerakan tangan untuk mengutarakan maksud dan tujuan. Soleh dan Sontani biasanya memulai pembicaraan dengan mengucapkan “Kaimo, Kaimo” yang artinya baik. Dari situ dapatlah teman mereka dari suku Kayakaya ini mengerti bahwa Soleh dan Sontani tidak punya maksud jahat. Mereka lalu menawarkan rokok, sebatang untuk seorang kayakaya, dengan itulah mereka mengambil hati orang Kayakaya ini, sehingga kemudian mereka dapat menyampaikan maksud dan tujuan mereka.
Sering kali ketika bertemu dengan orang Kayakaya yang dikenalnya dengan baik Sontani dan Soleh meminta izin untuk menginap dikampung mereka. Sebenarnya bukan kampung layaknya pemukiman, namun lebih seperti rumah pohon yang tingginya lebih dari 20 meter diatas pohon. Orang Kayakaya tinggal ditempat seperti itu. Dibawah rumah pohon tersebut biasanya ada tempat yang disebut rumah bawah, dirumah bawah inilah biasanya orang Kayakaya berkumpul untuk makan bersama dan berpesta. Setiap kali mereka menyambut tamu, setiap keluarga Kayakaya pasti memberikan sesuatu, setidaknya makanan untuk tamu mereka. Begitu juga dengan Soleh dan Sontani. Mereka tidak hanya diberikan makanan, namun semua orang Kayakaya datang berkumpul di rumah bawah dan mereka mengadakan perjamuan untuk Sontani dan Soleh, mereka memotong babi, memotong burung yang mereka temui dihutan, membakarnya bersama pisang dan sagu.
Paginya mereka akan berpamitan, sekaligus meminta tolong oleh orang Kayakaya untuk menunjukkan jalan. Tujuan akhir mereka ialah sungai Fly, sungai yang langsung menuju laut. Kadang kala, para kepala suku diperkampungan Kayakaya ini mengutus beberapa orang dari mereka untuk menemani dan menunjukkan Soleh dan Sontani jalan, tidak sampai tujuan akhir mereka, namun sampai tempat aman yang bisa dijangkau dari perkampungan mereka. Setidaknya berjalan satu hingga dua hari dari perkampungan Kayakaya ini.
Akhir cerita ini mereka dapat sampai hingga ke Hilir sungai Fly dan bertemu dengan teman-teman lainnya yang juga kabur dari Boven Digul yaitu Harjosaputro Ngusmansaleh, Suwito dan Joyo. Mereka cuman berbeda beberapa hari waktu berangkatnya setelah Sontani dan Soleh berangkat. Namun mereka bisa lebih dahulu sampai ke Sungai Fly ini karena tidak tersesat selama perjalanan. Sedangkan Sontani dan Soleh sempat tersesat karena mereka kelupaan membawa kompas. Mereka saling bertukar cerita pengalaman-pengalaman mereka selama perjalanan dan kemudian bergabung bersama-sama untuk melanjutkan perjalanan dengan berharap bisa menyeberang ke Australia.
Penutup
Membaca buku ini sebenarnya cukup susah, karena hampir semua ceritanya ditulis dengan bahasa Indonesia (bahasa melayu sebenarnya) lama dan gaya bahasa lama. Aku sempat mengulang beberapa kali bagian-bagian awal karena berusaha memahami gaya bahasanya. Namun satu kali ketika aku sudah terbiasa dengan gaya bahasanya tersebut aku dapat melaju kencang membacanya.
Buku ini memberikan satu pandangan baru tentang sejarah yang tak pernah tertulis dibuku sejarah pada umumnya. Selayaknya semua karya Pram yang selalu mengangkat tema sejarah dan berusaha menyampaikan satu penggalan sejarah yang tak pernah resmi tertulis namun sebenarnya terjadi, begitulah buku ini, ada penggalan sejarah tentang tempat yang sangat menyeramkan yang pernah digunakan untuk membuang para tokoh-tokoh Komunis dan tokoh yang dianggap berbahaya oleh pemerintah. Memang kebanyakan dari tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh komunis namun bisa jadi ada beberapa tokoh sejarah yang tidak sempat kita kenal.
Cerita yang paling kusuka ialah cerita ketiga yang berjudul “Darah dan Air Mata di Boven Digul”. Dalam cerita ini banyak makna-makna dan pemikiran-pemikiran yang berusaha disampaikan oleh penulis. Pemikiran-pemikiran tersebut secara apik tersublim dalam cerita-cerita antar tokoh didalam cerita tersebut. Aku setuju dengan pemikiran penulis bahwa sebenarnya Ideologi Komunis itu tidak relevan lagi dalam kehidupan, karena si pemalas dan si yang tidak mau bekerja berkesempatan menggantungkan hidupnya kehasil upaya bersama. Sedangkan si yang berkemampuan lebih dan si kaya, pasti tidak akan rela sepenuhnya ketika hasil jerih payah mereka dibagi kepada mereka yang malas ini. Ideologi yang ideal memang harusnya seperti sekarang ini, siapa yang berkemampuan dan berkemauan dapat mengembangkan diri lebih dan berusaha lebih. Setiap orang harus berjuang dan berusaha lebih agar dapat bertahan. Kemudian disitulah peran pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan (pajak) tersebut kepada setiap orang melalui jaminan kesehatan dan jaminan pendidikan yang dapat merubah kehidupan semua orang.
Aku berusaha untuk menceritakan kembali intisari dari cerita tersebut ditulisan kali ini, tidak ada yang ditambahi, mungkin banyak yang dikurangi mengingat untuk menceritakan kembali, aku mengandalkan ingatan dan cerita-cerita ini cukup panjang untuk diingat secara detail. Bagian yang paling susah ialah ketika menceritakan kembali cerita ketiga yang berjudul “Pandu Anak Buangan”. Menceritakan kembali bagian ini dengan bahasaku menjadi sangat sulit karena cerita ini sangat panjang, jalan ceritanya yang diplot penulis juga cukup detail menceritakan kehidupan Pandu si tokoh utama dari awal hidupnya hingga kepuncak konflik yang dihadapi Pandu.
Lalu, cerita lainnya yang cukup sulit untuk diceritakan kembali juga ialah cerita keempat “Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul”, disini penulis tidak menceritakan secara lengkap nama-nama tokoh yang terlibat dalam cerita tersebut yang kabur dari Boven Digul, sehingga ketika aku menceritakannya kembali, aku banyak menggunakan kata ganti “mereka” disitu. Ketika aku membacanya kembali memang tidak enak rasanya. Namun yah apa mau dikata penggunaan kata ganti ‘mereka’ disini tidak dapat terhindarkan rasaku. Karena memang yang menjadi pusat cerita hanya 4 orang saja dari kelompok tersebut yaitu, Sujito, Kamlin, Rusman dan Suwirjo.
Akhir kata, aku berharap cerita yang kutuliskan kembali disini dapat menghibur dan bermanfaat bagi kita semua. Sebenarnya banyak novel dari penulis Indonesia dan yang menceritakan Indonesia diluar sana, banyak juga yang bagus dan enak untuk dibaca. Harapan yang sangat besar juga dapat menambah minat baca kita kepada novel-novel sejarah Indonesia. Agar kita dapat semakin mengenal budaya dan identitas kita.