First Person Singular merupakan buku kesekian dari Haruki Murakami yang kubaca, dan menjadi buku kedua dari kumpulan cerita-ceritanya setelah Men Without Women. Pertama kali aku membaca Murakami ialah melalui bukunya Norwegian Wood, sebuah cerita tentang perasaan sakit dan sedih ditinggal bunuh diri oleh orang-orang yang kita sayangi. Men Without Women sendiri merupakan kumpulan cerita tentang laki-laki yang putus asa dan kesepian. Entah mengapa Murakami selalu menulis tentang kesedihan, kemurungan namun memberikan pelajaran hidup. Begitu juga dengan buku ini, First Person Singular.
First Person Singular, bercerita tentang ingatan akan masa lalu, kehidupan yang telah lewat dan kemudian dikenang dalam ingatan oleh sang Narator dalam setiap ceritanya, namun seperti perjalanan kehidupan yang seolah sedang dijalaninya, seperti kebanyakan karya Murakami, surreal dan sulit untuk dijelaskan.
Ada satu cerita yang menjadi favoritku dalam buku ini, tentang seorang monyet yang dapat berbicara. Si monyet kemudian bekerja disebuah hotel di sebuah tempat wisata di daerah Gunma. Suatu ketika si Narator sedang berlibur Gunma dan dilayani oleh si monyet. Selain melayani Narator, mereka terlibat dalam obrolan dan saling berbagi kisah masa lalu. Si Narator yang penasaran dengan dunia luar terus mengorek-ngorek masa lalu si Monyet, mulai dari cerita mengenai keluarganya hingga bagaimana bisa hingga dia bisa bekerja di hotel tersebut. Obrolan berlanjut semakin mendalam, si Monyet bercerita tentang bagaimana rasa kesepiannya dan kisah cintanya yang selalu gagal dan tak pernah bisa mengungkapkan perasaannya kepada orang yang dia suka. Monyet merasa tidak pantas dan berpikir bahwa dia tidak layak untuk mencintai wanita (dan manusia). Monyet hanya bisa memendam perasaannya. Monyet menceritakan untuk memuaskannya dan melampiaskan perasaan cintanya, dia mencuri nama orang tersebut hingga perempuan yang dicuri namanya oleh si Monyet tidak mengingat namanya lagi. Ini bisa dilakukan si Monyet hanya dengan menggunakan barang yang berisi identitas dari orang yang ingin dicuri namanya. Si Narator berusaha mempercayainya namun sangat sulit untuk dilakukan. Hingga bertahun-tahun kemudian ketika si Narator dalam sebuah meeting dengan seorang wanita, tiba-tiba wanita tersebut lupa namanya dan dari situ Narator kembali lagi ke ingatan masa lalunya ketika bertemu si Monyet.
Cerita lainnya, yang berjudul “Cream”, si Narator dalam hal ini Murakami, yang dalam masa tuanya tiba-tiba mendapat undangan konser tunggal piano dari seorang wanita dimasa mudanya, wanita yang sempat dia sukai. Dia melakukan perjalanan yang cukup jauh dari tempatnya ke suatu desa di Kobe, namun apa yang didapatnya bahwa tidak ada sama sekali keramaian yang menunjukkan akan dilaksanakannya konser disana. Dia kebingungan dan kemudian duduk disebuah taman. Dia berusaha memahami apa yang terjadi, mengapa wanita dari masa mudanya tiba-tiba datang kembali kehidupnya dan mengundangnya ke sebuah pertunjukan piano yang akan dilakukan oleh wanita tersebut, dia juga berusaha memahami, kenapa tidak ada pertunjukan piano tersebut dan alamat yang didapatnya bukan sebuah gedung pertunjukan selayaknya tempat pertunjukan pada umumnya. Dia berusaha mengerti apa yang telah dilewatinya, bukan hanya tentang kejadian yang baru saja terjadi, dipikirannya juga hadir tentang kehidupan-kehidupan yang telah dilewatinya. Banyak gejolak-gejolak batin yang terjadi didalam dirinya, hingga tiba-tiba muncul suara dari seorang lelaki tua yang berusaha mengatakan “a circle with many centres”, pikiran kita terkadang terus berusaha untuk mendapatkan suatu jawaban dari apa yang telah terjadi, mencoba mendapatkan “mengapa hal itu terjadi”, namun semakin kita mencoba mencari kita menemukan banyak sekali jawaban-jawaban yang seolah seperti lingkaran yang mempunyai banyak titik-tengah. Yang sebenarnya terjadi ialah kita tidak ada sebenarnya titik-tengah tersebut. Lingkaran tersebut ialah gejolak-gejolak yang terjadi yang berusaha kita pahami. Gejolak tersebut bisa apa saja, seperti cinta, kepercayaan kita kepada yang Maha Kuasa, kehilangan dan banyak hal lainnya. Kita tidak bisa memahaminya semua. Kepahitan yang disebabkan oleh hal-hal tersebut adalah hal alami yang terkadang tidak untuk dipahami dan dicari mengapa, apa yang kita bisa lakukan ialah tetap menjalani hidup tanpa terus mempertanyakan segala hal.