Pada awal maret ini, aku pertama kali menemukan penulis Norman Erikson Pasaribu menjadi bahan omongan di-twitter. Hal ini dikarenakan bukunya yang terbaru yaitu Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya masuk dalam The Longlist, International Booker Prize 2022, sebuah penghargaan yang bergengsi didunia internasional. Penghargaan ini dianugerahkan kepada sebuah buku setiap tahunnya. Buku tersebut harus sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan telah diterbitkan di UK dan Irlandia.
Setelah mencari tahu, kesana dan kemari melalui internet, akhirnya aku ingat salah satu buku dari penulis yaitu Sergius mencari Bacchus. “Nah ini, kayaknya dulu aku pernah liat buku ini, pas masih SD atau SMP gitu”. Buku ini tidak asing emang, ketika kau SMP dulu, buku ini kayaknya banyak terpajang ditoko buku saat itu. Aku semakin tertarik dengan penulis ini dan berakhir dengan membelinya di-Amazon. Hal yang cukup menarik adalah, bukunya yang berjudul “Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu” ternyata terdapat di-UK dan tersedia dalam layanan Amazon Prime, plus buku yang tersedia merupakan buku berbahasa Indonesia. Jarang sekali, bahkan ini pertama kalinya aku mendapatkan buku berbahasa Indonesia di-UK.
Buku “Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu” ini merupakan buku kumpulan Cerpen yang ditulis oleh Norman Erikson Pasaribu. Ada 20 Cerpen yang semuanya sebagian besar sudah pernah dimuat di-surat kabar atau majalah. Setelah aku membaca kumpulan cerpen ini, satu hal yang terlintas dalam pikiranku ialah cerpen-cerpen yang ditulis oleh Norman sebagian besar tentang kesedihan. Ada yang menceritakan tentang penantian, kematian, kebosanan, kesepian. Terselip juga beberapa tulisan surealis, tulisan yang menceritakan alam bawah sadar atau imajinasi manusia. Ketika membaca bagian ini aku jadi teringat tentang Haruki Murakami, bukunya yang berjudul 1Q84. Dalam beberapa bagian Norman berhasil menyetarakan diri dengan Murakamai diceritanya, cuman yang menjadi pembeda, kalau Murakami akan menceritakan ceritanya dengan sangat panjang dan deskriptif, Norman menceritakannnya dengan ala kadarnya, namun tetap imajinatif, keduanya.
Satu kisah yang kusuka ialah ketika dia menceritakan tentang Ruhut Manihuruk seorang Novelis yang putus asa dan gila pada cerpen yang berjudul Novelis Terkutuk. Dalam cerpen ini, secara menakjubkan Norman membawa kita seperti menyelami alam pikir seorang novelis. Dilema yang dihadapi sang penulis ketika sudah sampai dititik buntu dan tidak mampu lagi mengeluarkan ide untuk tulisannya. Seketika Ruhut Manihuruk terlibat dalam obrolan dengan tokoh pada Novelnya sendiri. Bentrokan terjadi, si tokoh dalam Novel itu, Em kesal pada Ruhut dan tidak mau menuruti Ruhut dalam alur cerita yang semena-mena yang ditulis oleh Ruhut. Sebuah imajinasi yang cukup tinggi, menurutku. Aku bisa merasakan konflik yang dialami oleh Ruhut, walau sebenarnya aku belum pernah menulis fiksi.
Sebagian besar cerpen ini cukup ringan dan cukup penuh makna, menurutku. Sebuah cerpen dalam buku ini, cocok untuk diselesaikan dalam sekali duduku. Aku sering menyelesaikan satu atau dua cerpen dalam waktu-waktuku pergi kekantor, sambil duduk dalam perjalan di kereta. Buku “Cerita-cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya” juga sudah tiba dan aku tidak sabar ingin menyelesaikan buku ini, penasaran terhadap karya sastra Indonesia yang berhasi menembus dunia Internasional.