Gunung Kerinci - perjalanan penuh arti
Lokasi : Kersik Tuo, Jambi
Tinggi : 3800
Tanggal: oktober 2021
GPX : Gunung Kerinci - perjalanan penuh arti
Hutan yang rapat dan kayu-kayu besar, ciri khas hutan hujan mendominasi medan pendakian. Menuju puncak, jalanan berbatu dan berpasir susah untuk dilalui menjadikan pengalaman pendakian ke Gunung Api tertinggi di Indonesia ini menjadi sangat menarik
Aku lahir dan tumbuh besar di Sumatera. Namun belum pernah sekalipun aku menginjakkan kaki di gunung di Sumatera. Didalam hati sebenarnya ada satu keinginan yang terpendam untuk dapat sekali saja menginjakkan kaki di Gunung di Sumatera. Dari cerita teman-teman yang sudah menapakkan kakinya ke Gunung di Sumatera, pengalaman yang sangat berbeda dengan gunung-gunung di Pulau Jawa yang mereka dapati. Hutan yang lebat ciri khas hutan hujan Indonesia, serta area pendakiannya yang biasanya bersinggungan dengan habitat satwa liar menghasilkan suatu keingingan yang kuat bagiku. Pada akhirnya, aku dapat mewujudkannya. Pendakian ke Gunung Api tertinggi di Indonesia, serta mewujudkan salah satu dari 7 summits Indonesia, inilah Kerinci.
Pendakian ke Gunung Sumbing, awal tahun ini, membuatku berkenalan dengan Wahyu, pendaki dari Palembang, Sumatera Selatan. Kala itu kita sama-sama berangkat dari Wonosobo menuju Jakarta. Aku ke Sumbing, Wahyu saat itu ke Sindoro. Dari situ kita berkenalan dan saling bertukar kontak. Awalnya kita merencanakan ingin mendaki bareng ke Gunung Dempo, namun karena Wahyu baru saja mendaki gunung tersebut beberapa bulan sebelumnya, akhirnya pendakian ini kami rencanakan ke Gunung Kerinci.
Kita memulai pendakian dari Palembang saat itu, aku menyusul Wahyu ke Palembang. Wahyu bersama dengan temannya yang lain bernama Pendo. Kita bertiga berangkat ke Jambi dengan menggunakan mobil pribadi menuju Desa Kersik Tuo, Kerinci, Jambi. Perjalanan kita tempuh dalam waktu hampir 18 jam. Membelah lintas timur Sumatera. Perjalanan yang melelahkan, 18 jam dimobil.
Perjalanan darat menuju Jambi ini tidak banyak yang bisa diceritakan, namun yang pasti agak sedikit membosankan. Kita melewati hutan di kiri dan kanan, terkadang juga perkebunan sawit atau karet, tidak jarang juga perkampungan. Jalanan yang tidak terlalu lebar, cuman 2 jalur mobil, namun beruntung tidak terlalu padat.
Sebelum Perjalanan
Seperti biasa sebelum perjalanan, selain persiapan fisik dan perlengkapan pendakian, aku juga biasanya mengabari keluarga, beberapa orang dikantor dan teman-teman dekat tentang rencana pendakian ini. Nah sebelum berangkat, aku sempat ngobrol dengan manajerku dikantor yang kebetulan juga kita kuliah disatu kampus yang sama namun berbeda angkatan. Seperti sesi 1on1 rutin antara atasan dan bawahan. Dalam sesi kali ini, obrolannya cukup santai namun ada sebuah perkataannya yang terpikirkan terus olehku, tidak menyakitkan, namun membuatku berpikir keras tentang hidupku. Kurang lebih dia berkata begini,
”. . . . Rio dirimu masih muda, masih punya energi yang cukup banyak, mungkin ada baiknya daripada energi tersebut dipake hanya untuk naik gunung, coba juga disalurkan untuk membangun masa depan. Cari sesuatu yang lebih menantanglah, coba daftar tuh jadi konsultan, kerja divendor atau keluar negeri, saya juga dulu waktu muda begitu, mencari pengalaman yang banyak . . . . .”
Selesai ngobrol-ngobrol dengan beliau, aku sebenarnya biasa saja, tidak terlalu memikirkan perkatannya tersebut. Aku terlalu bersemangat dengan segala persiapan pendakianku, aku tidak sabar untuk segera tiba di Palembang, untuk kemudian bertemu dengan Wahyu dan melanjutkan perjalanan ke Jambi lalu kemudian memulai pendakian ke Kerinci. Hingga pada akhirnya selama diperjalanan darat dari Palembang menuju Kerinci, ketika kita bertiga sudah lelah ngobrol dan tak tahu lagi apa yang akan dibicarakan, perkataan manajerku tersebut tiba-tiba terlintas dikepalaku, apakah aku sudah puas begini saja? Apakah aku sudah puas dengan menjadi seorang salaryman yang menikmati hidupnya? Apakah itu cukup untukku hingga lima, sepuluh, dua-puluh tahun kedepan? Apakah aku harus mengubah pandangan hidupku dan cara hidupku sebagai seorang pekerja yang menikmati hidupnya? Aku tak tahu mengapa ini semua membayang-bayang dikepalaku saat itu. Tapi kali ini aku hanya ingin menikmati perjalan ini. Baiknya aku buang jauh-jauh pikiran itu, setidaknya hingga aku kembali ke Jakarta.
Kersik Tuo, Pos Pendakian Gunung Kerinci
Pukul 7 pagi kita tiba di Kersik Tuo, desa tempat Pos Pendakian Gunung Kerinci. Desa kecil dikaki Gunung Kerinci. Jalan ke pos pendakian ditandai dengan adanya tugu macan. Pendaftaran pendakian gunung Kerinci saat itu masih belum dibuka, para petugas sepertinya baru bangun dan mereka akan membuka pendaftaran untuk pendakian pukul 8. Berbeda dengan gunung-gunung di Jawa, dimana pendaftaran untuk pendakiannya harus dilakukan secara online melalui website pengelola pendakian, di Gunung Kerinci ini tidak begitu, kita bisa mendaftarkan pendakian secara langsung, tepat sebelum kita mendaki. Walau memang diterapkan kuota pendakian saat itu, mengingat untuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Kita masih harus menunggu sekitar sejam-an. Jadi kita memutuskan untuk sarapan dan melengkapi perbekalan. Kita belanja dipasar, tidak jauh dari pos pendakian tersebut. Kita membeli nasi bungkus yang nantinya akan jadi bekal kita untuk makan siang dipendakian. Dengan membawa nasi bungkus, setidaknya kita bisa hemat 1 hingga 2 jam, tidak harus masak dan bongkar tas lagi. Kita juga melengkapi perbekalan kita dengan standar pendakian ala pendaki Indonesia, indomie dan sosis. Kita juga packing ulang, dimulai dengan membagi air minum, membagi logistik sama rata dan membagi perlengkapan bersama seperti tenda, nesting dan lain sebagainya.
Semua persiapan sudah beres, kita sudah sarapan, sudah ngopi dan packing juga sudah selesai. Pendaftaran pendakian telah diurus, namun kita masih harus menunggu briefing sebelum diperbolehkan memulai perjalanan. Kita menunggu di pos pendakian. Kondisi saat itu sangat lengang. Ada dua bangunan diarea pos pendakian tersebut, satu yang menjadi kantor satu lagi seperti sebuah bangunan aula besar dengan beberapa kamar yang bisa dipakai oleh para pendaki untuk menginap jika kemalaman. Dengan lapangan yang luas dan ditumbuhi pohon rindang membuat pos ini sangat sejuk, ditambah di sekeliling pos ini merupakan kebun teh dengan ketinggian sekitar 1800 mdpl.
Cuman kita bertiga pendaki saat itu di pos pendakian, juga ada dua orang petugas di pos pendakian tersebut. Mungkin karena masih pagi. Pukul sembilan kita mulai dibriefing oleh petugas. Semua perlengkapan kita dicek, termasuk logistik makanan. Petugas memastikan perlengkapan dan logistik cukup untuk kita bertiga dan untuk pendakian setidaknya selama tiga sampai empat hari. Karena cuaca di Gunung Kerinci akhir-akhir ini sering dilanda badai, logistik dan perlengkapan menjadi perhatian khusus para petugas di pos pendakian. Gunung dengan tinggi lebih dari 3500 mdpl tidak bisa ditebak cuacanya, bisa tiba-tiba tertutup awan dan terjadi badai. Gunung Kerinci sendiri memiliki ketinggian 3800 mdpl.
Pukul 9.30 pagi kita meninggalkan pos, untuk memulai pendakian, cuma kita bertiga. Dari pos pendaftaran pendakian kita masih bisa mengendarai mobil hingga ke pintu rimba, 15 menit perjalanan, kalau jalan mungkin hampir 2 jam. Di pintu rimba ini masih terdapat warung. Kita masih sempat santai sejenak disini. Perjalanan ini kita rencanakan dapat ditempuh paling lama 3 hari 2 malam. Kalau kita kuat, kita juga ingin menekan waktu pendakian cuman 2 hari 2 malam saja, untuk selanjutnya kita dapat melanjutkan pendakian ke Danau Gunung Tujuh, salah satu Danau tertinggi di Indonesia, dengan ketinggian 1950 mdpl.
Pendakian
Pendakian gunung Kerinci sendiri akan melalui 7 pos dan 3 shelter yang bisa dijadikan tempat untuk berkemah. Pendakian dimulai dari pintu rimba. Begitu melewati pintu rimba, jalur pendakian langsung memasuki hutan lebat, ciri khas hutan hujan dengan pepohonan yang tingginya 30 meter lebih. Kita berjalan diantara rindangnya pohon. Sejuk dan dingin rasanya. Hari sebelumnya katanya baru saja turun hujan dan memang benar terlihat ditanah yang kita pijak ada kubangan lumpur yang sudah mulai mengering, namun kalau kita injakkan kaki keatasnya akan tetap berjejak. Kita sempat bercanda, apakah jejak tidak biasa yang kita lihat tersebut ialah jejak dari harimau sumatera.
Untuk informasi, harimau sumatera masih umum terlihat di Taman Nasional Kerinci Seblat ini. Sempat ada beberapa laporan dari warga yang berpapasan dengan harimau sumatera ini. Namun aku tidak yakin kalau harimau sumatera ini berkeliaran disekitar jalur pendakian, karena pada umumnya binatang akan cenderung menjahui habitat manusia. Memang jalur pendakian bukanlah tempat orang-orang hidup, tapi hal yang umum kalau jalur pendakian ini setiap harinya dilewati oleh para pendaki. Sehingga harimau sumatera kemungkinan besar akan menjahui jalur pendakian ini. Mungkin harimau sumatera ada disisi lain dari Taman Nasional Kerinci Seblat ini. Taman Nasional Kerinci Seblat sendiri merupakan Taman Nasional terluas didunia dan menjadi habitat hidup dari harimau sumatera.
Satu jam perjalanan, akhirnya kita sampai ke Pos Pertama, yaitu Pos Bangku Panjang. Terdapat pondok kecil disini dan sebuah bangku panjang yang dibuat dari beton. Kita tidak lama berhenti disini, karena semua masih pada segar dan sehat. Tidak jauh dari Pos Pertama, dalam 45 menit perjalanan kita tiba di Pos Kedua, Batu Lumut. Sepertinya kita sampai di Pos Kedua ini, pada pukul 11 lewat. Saat itu kita berpikir bahwa sebaiknya kita makan siang di Pos ketiga saja, dengan harapan sampai di pos 3 sekitar pukul 12 atau pukul 1. Tapi ternyata perjalan menuju pos tiga cukup jauh, kurang lebih hampir 2 jam.
Kita sampai di Pos 3 sekitar pukul 2 lewat. Kita makan membuka bekal dan makan di Pos 3 ini. Di Pos 3 atau Pondok Panorama ini terdapat satu pondokan. Area di Pos 3 ini juga cukup luas untuk berkemah, setidaknya akan muat untuk 7 hingga 10 tenda. Selesai makan, kita melanjutkan perjalanan. Target perjalanan hari ini ialah kita dapat tiba di Shelter 3 sebelum malam. Aku yang baru pertama kali ke Kerinci hanya mengikuti pimpinan dari Wahyu yang sebelumnya sudah pernah sampai kepuncak Kerinci ini dua tahun yang lalu.
Selepas dari Pos 3 inilah perjalanan menjadi semakin sulit. Tidak hanya medan yang semakin terjal, hujan gerimis juga mulai turun. Tanah yang tadinya basah dan gembur, sekarang menjadi jelas dipenuhi dengan air hingga becek. Jalan semakin susah.
Lelah dan Imaji yang mengubah hidup
Perjalanan dari Pos 3 menuju Shelter 1 ini sangat susah, selain karena medan berbecek yang semakin sulit, aku juga sudah mulai lelah rasanya. Semua energi ditubuh sudah terkuras. Mata juga sudah mulai kantuk, karena kurang tidur selama perjalanan sehari sebelumnya. Saat-saat seperti inilah yang menjadi waktu yang sangat bermakna bagiku, sekaligus saat-saat meditatif. Ketika semua energi telah terkuras dan tidak ada lagi tenaga untuk ngobrol dengan teman jalan dipendakian, saat-saat kita fokus untuk terus tetap berjalan dan berusaha untuk tidak jatuh. Saat-saat pemikiran-pemikiran tidak biasa terlintas kedalam pikiranku.
Dulu dalam pendakian ke Gunung Ciremai, aku sempat merasakan rasa bersalah yang teramat sangat dalam diriku, aku ingat akan dosa-dosaku dan kesalahan-kesalahan yang pernah kulakukan. Dari kesalahan yang paling kecil, aku teringat sering tidak membayar dikantin sekolah dulu, makan gorengan 5 biji namun ngakunya cuman makan 2. Dari dosa ini aku menjadi teringat kepada OB dikantor lamaku yang begitu baik sering menyisihkan makanan ketika ada acara dikantor untuk kita, penghuni kantor yang masih lajang, hidup ngekos dan sering pulang telat saat itu. Aku kadang mengambil dua porsi untuk makan malamku dan dia hanya mengambil satu porsi untuknya, itupun untuk dibawanya pulang. Belakangan aku akhirnya tahu kalau dirumahnya ada 3 orang lainnya yang menjadi tanggungannya, kedua orang tuanya yang tidak dalam kondisi sakit, namun sudah tidak mampu untuk bekerja dan seorang adiknya yang masih bersekolah. Aku tidak mau menerka-nerka bagaimana kondisi mereka, namun disatu jumat malam aku pernah harus berkunjung kerumahnya. Bukan karena undangannya, namun karena dia membawakan barangku yang tertingal dikantor, dirumah petak kecil dengan satu kamar dan satu ruang tengah tanpa dapur. Dia tidak menawarkanku apa-apa untuk aku makan dan minum, selain air putih. Aku tidak sakit hati saat itu, cuman aku menjadi merasa sangat bersalah dengan mengambil dua porsi ketika ada makanan lebih. Sedangkan dia, jatah lebih satu porsi yang dibawanya pulang, bisa jadi tidak dinikmatinya untuk seorang diri. Aku tidak mau menerka-nerka keadaannya, tapi dia teman terbaikku, dengan porsi-porsi lebih makanan sisa yang selalu dibaginya untuk kami.
Nah dalam pendakian ke Kerinci ini, pemikiran yang lewat dikepalaku ialah apa rencana hidupku kedepannya? Apa yang harus kucapai? Apa setelah ini? Apa? Apa?
Pemicu pemikiran ini sebenarnya sudah sejak dalam perjalanan dari Palembang ke Kerinci yang telah kuceritakan sebelumnya. Perkataan managerku tersebut selalu terlintas berulang kali dalam kepalaku. Apakah aku harus begini terus, puas akan hidup dan terus berjalan santai dan menikmati hidup? Aku bertanya-tanya tentang itu. Sejujurnya aku sangat menikmati hidupku sekarang, dengan pekerjaan yang aku senangi ditambah dengan tidak harus kekantor dan menghabiskan waktu sekitar 3 jam sehari hanya untuk perjalanan kekantor. Aku dapat penghasilan yang setidaknya cukup untukku, aku juga dapat menabung. Namun, pada kenyataannya memang terkadang tabungan selalu jebol untuk membiayai naik gunungku. Setidaknya sampai lima tahun kedepan kayaknya aku sudah sangat puas dengan ini, pikirku sejak dari dulu ketika hiking ke sesar lembang. Aku sudah berada dititik yang kunyamankan dalam hidup, sudah cukup, bolehkah aku sebentar beristirahat menikmatinya?
Hujan lebat membuyarkan pikiran-pikiran tentang hidup yang muncul didalam kepalaku, segera aku kenakan ponco, mudah saja mengambilnya, aku meletakkannya tepat sebelah kanan tas kerilku. Ponco ku kenakan, aku lanjut berjalan lagi. Kita tiba di Shelter 1 ketika waktu sudah sangat sore, hampir pukul 5. Tidak berapa lama beristirahat kita langsung melanjutkan perjalanan. Katanya setelah melewati Shelter 1 inilah, perjalanan pendakian menjadi sangat menarik. Kita akan melewati hutan dan memasuki area seperti lorong dari pohon-pohon dan semak. Namun sayangnya, tak berapa lama setelah meninggalkan Shelter 1, langit mulai gelap dan malam tiba. Disini aku mulai tidak percaya diri akan sampai di Shelter 3 dihari ini. Wahyu saat itu masih berpendapat lebih baik kita berkemah di Shelter 3, agar esok pagi perjalanan ke puncak lebih pendek. Tapi terserahlah, aku usahakan berjalan semampuku, setidaknya bisa mencapai Shelter terdekat setelah ini.
Senter sudah ditangan dan menyala. Jarak pandang berkurang, hanya sebatas sorotan cahaya senter ke jalur pendakian. Tidak ada waktu untuk menyorot kedepan, keatas atau kemanapun untuk melihat kondisi sekitar, tak terpikirkan lagi untuk menikmati jalur pendakian yang diceritakan oleh orang-orang. Kita hanya terus berjalan, sesekali berhenti untuk beristirahat, juga untuk menunggu yang tertinggal.
Kalau tidak salah ingat, kita sampai di Shelter 2 sekitar pukul 8 malam, lewat. Aku tidak ingat jelasnya. Namun, memory yang masih tersisa ialah rasa syukur bisa mencapai Shelter 2, ini artinya dapat beristirahat, sebentar atau mungkin akan berkemah disini, tergantung nanti keputusan kita bersama. Tapi sepertinya tidak mungkin untuk tetap melanjutkan perjalanan. Pertimbangannya, saat itu sudah lewat pukul 8, ketika kita tiba di Shelter 2, kita harus istirahat dan makan, setidaknya itu sudah menghabiskan 2 jam waktu kita. Pada pukul 10 atau 10.30 setidaknya kita baru bisa memulai perjalanan, pukul berapa kita akan tiba di Shelter 3? Tidak ada yang tahu, bisa saja pukul 2 pagi, pukul 3 pagi. Itu bukan keputusan yang tepat untuk melanjutkan perjalanan lagi. Sudahlah kita sangat kelelahan, juga kita akan kurang tidur, pasti!
Dengan semua pertimbangan itu, aku mengajak Wahyu dan Pendo berdiskusi. Awalnya Wahyu agak ngotot untuk tetap melanjutkan perjalanan dan kita hanya istirahat dan makan malam saja di Shelter 2. Pendo tidak menentukan pilihan. Wahyu akhirnya setuju setelah mendengarkan cerita dari teman pendaki lain yang telah lebih dulu camping disitu. Mereka bercerita bahwa malam ini adalah malam ketiga mereka dan mereka akan turun besok pagi. Selama dua hari sebelumnya, cuman hujan yang mereka dapat di jalur pendakian.
Kita membangun tenda disitu, kita juga masak dan berberes perlengkapan kita. Cuman satu tenda untuk kita bertiga dan cuman tenda dengan kapasitas dua orang yang kita punya. Malam itu berakhir di Shelter 2.
Summit Attack
Pagi-pagi sekali, kita bangun pukul 3 pagi. Bersiap untuk melakukan summit attack, melanjutkan perjalanan menuju puncak. Kita membuat kopi terlebih dahulu sambil berkemas, sebelum memulai perjalanan. Tenda tidak kita bongkar, karena biasanya dalam perjalanan ke puncak, kita hanya akan membawa perlengkapan seperlunya. Jaket, senter, ponco, snack dan air minum, sudah itu saja. Sisanya akan kita tinggalkan di tenda.
Pukul 4 kita memulai perjalanan. Kondisi masih gelap. Jarak pandang hanya sebatas sorotan senter kita. Terus berjalan, hingga sekitar pukul 7 lewat kita baru tiba di Shelter 3. Beruntung pikirku, seandainya semalam kita masih melanjutkan perjalanan, bisa-bisa kita tiba di Shelter 3 pukul 3 atau pukul 4 pagi. Mungkin kita akan tiba saat orang-orang di Shelter 3 sudah bangun dan bersiap untuk summit attack.
Perjalanan dari Shelter 2 ke Shelter 3 sendiri, sangat-sangat susah menurutku. Berulang kali kita harus melewati jalur-jalur yang ekstrem, memanjat diantara batang dan akar pohon. Beberapa kali dibantu dengan tali yang memang tersedia dijalur pendakian. Teknis sekali gunung ini.
Begitu melewati Shelter 3, jalur pendakian berubah total. Kita memasuki batas vegetasi, batas dimana tumbuh-tumbuhan sudah mulai jarang, hingga nanti akhirnya mendekati puncak tidak ada lagi tumbuh-tumbuhan. Tanah yang tadinya gembur, perlahan-lahan berubah menjadi batu kerikil dan pasir. Tanah yang kami injak yang tadinya berwarna hitam, seiring kami berjalan mulai menjadi coklat. Awalnya coklat tua kemudian menjadi coklat muda hingga tiba didaerah yang sekeliling mata memandang semua berwarna oranye kelam atau coklat kemerahan berwarna terang.
Matahari pelan-pelan mulai tampak, langit gelap berubah jadi oranye. Suasana yang menenangkan hati. Lelah selama perjalanan pelan-pelan sedikit reda. Walau kita belum sampai puncak. Semangat muncul kembali, beban agak sedikit berkurang ketika aku melihat kebawah dan menyadari bahwa perjalanan ini sudah sejauh ini. Sedikit lagi.
Makna sedikit lagi dalam pendakian tidak bisa diartikan sebagai beberapa menit lagi sampai. Saat itu aku berada ditempat yang puncak sudah kelihatan. Namun nyatanya, berjalan selama hampir 4 jam baru sampai Tugu Yudha, sebuah tempat yang datar dan cukup luas sebelum puncak. Disini terdapat sebuah tugu yang dibuat menyerupai makam, namun dari batu-batu yang banyak terdapat disana dengan nisan ditengahnya. Nisan tersebut kepunyaan Yudha Sentika yang hilang ketika mendaki gunung Kerinci pada 23 Juni 1990.
Sebentar saja beristirahat di-area tugu Yudha, lalu kita melanjutkan perjalanan. Sudah jam 9 pagi, matahari perlahan-lahan naik, semakin tinggi. Belum terik memang, tapi perjalanan tiga hari belakangan benar-benar menguras tenaga. Sudah sampai dititik, berjalan beberapa langkah, istirahatnya hingga 5 menitan. Kadang kala air yang dibawa tidak mencukupi untuk perjalanan kepuncak. Sumber air tidak ada disekitaran puncak, pada akhirnya harus menahan haus hingga turun kembali ke basecamp tempat tenda berdiri. Seperti saat ini, di Shelter 2 tempat ditempat kami menginap kemarin. Perjalanan terasa sangat lama untuk sampai kepuncak, padahal sudah terlihat dengan jelas.
Saat-saat seperti ini yang riskan, saat-saat haus yang teramat sangat, saat-saat tubuh sudah mendekati titik batas, saat-saat tenaga sudah hampir habis, pikiran sudah melayang-layang. Perkataan manajer ditempat kerjaku kembali terlintas dikepalaku “masih muda…, masih punya energi…, masa depan…, sesuatu yang menantang…, masih muda…, masih punya energi… Terus berulang-ulang berputar dikepala. Benar juga yah,
Apakah aku mau begini terus?
Bekerja - naik gunung, bekerja - naik gunung.
Apakah aku sudah cukup dengan pencapaianku sekarang didalam hidup?
Tidak adakah hal lain lagi yang ingin kukejar?
Kemanakah perjalanan hidup ini akan berujung?
Apakah yang harus kulakukan selanjutnya?
Semakin aku melangkah, semakin banyak pertanyaan melintas dipikiran. Semakin jauh berjalan, semakin aku ragu akan perjalanan hidupku kedepan. Semakin tinggi pendakian ini, semakin aku tersadar, aku sedang tidak berada didalam jalur hidup yang benar!
Tidak juga didalam jalur hidup yang salah, sebenarnya. Cuman, aku hanya berhenti, tidak melakukan progres lagi dalam hidup, cuman menikmatinya dan sekedar hidup. Tidak banyak pencapaian apapun dalam hidup selama tahun-tahun terakhir. Aku cuman begini-begini saja, tidak ada hal yang baru. Statis! Ahh~
Puncak
Akhirnya, sekitar pukul 10 pagi, PUNCAK! Dengan tertatih-tatih, kita sampai, kita berhasil sampai kepuncak tertinggi di Sumatera, Gunung api tertinggi di Indonesia, Gunung tertinggi kedua dijajaran 7 puncak tertinggi di Indonesia, Gunung Kerinci.
Perjalanan yang tidak sia-sia, perjalanan yang memuaskan. Semua jerih payah dan kesusahan selama tiga hari belakangan terbayar sudah. Kita bertiga tiba dipuncak!
Di puncak, kita merayakan keberhasilan kita. Kita menyalami dan menyelemati setiap orang yang kita temui dipuncak. Semua membaur, para pendaki. Ada sekitar 15-an pendaki saat itu yang sampai kepuncak berbarengan dengan kita bertiga, tidak terlalu ramai. Semua pendaki mengabadikan keberhasilan mereka, foto-foto dengan plang penanda puncak gunung Kerinci. Termasuk kami bertiga.
Aku berhasil, aku dapat menambahkan satu gunung lagi dari rangkaian 7 gunung tertinggi di Indonesia, setelah Rinjani kini Kerinci. Tersisa 5 lagi, Latimojong, Binaiya, Semeru, Bukit Raya dan Cartenz. Masih panjang. Tapi aku yakin bisa menyelesaikannya.
Kemana Selanjutnya?
Matahari sudah tinggi, belerang sudah naik, semakin lama dipuncak, semakin banyak belerang yang kita hirup. Itu sangat berbahaya. Kita memutuskan untuk turun. Tidak lama kita dipuncak, sekitar pukul 10.30 kita mulai bergerak. Berjalan perlahan-lahan menuruni punggungan gunung. Kadang berjalan begitu cepat hingga hampir terpeleset, terkadang juga harus berjalan pelan untuk memilih pijakan yang tepat. Harus penuh dengan konsentrasi.
Dengan masih dipenuhi oleh euforia keberhasilan sampai kepuncak, semangat kembali muncul. Biasanya, saat-saat seperti ini, kita akan masuk kedalam obrolan ringan, kemana perjalanan selanjutnya? Puncak apa yang akan ditaklukkan?
Namun kali ini berbeda, aku tidak banyak terlibat dalam obrolan mengenai rencana pendakian selanjutnya, aku tidak juga mulai melempar topik ke gunung apa yang sedang ingin kudaki, selanjutnya. Aku hanya berdiam, berjalan sendirian di belakang. Telah didahului oleh Wahyu dan Pendo.
Perjalanan pendakian ke Gunung Kerinci kali ini memberikan makna tersendiri dalam rencana hidupku kedepan. Merefleksikan akan hidup yang selama ini kujalani. Menyadarkanku akan apa yang telah kucapai, apa yang telah kulalui dalam hidup. Memberikan pengetahuan bahwa hidup harus senantiasa bergerak dan berjalan, maju terus kedepan, tidak berhenti, tidak diam, tidak statis. Aku harus melakukan sesuatu.
Setelah dari Kerinci, aku bertekad untuk mempunyai hidup yang lebih berarti, untuk kembali menetapkan tujuan-tujuan hidupku, untuk menetapkan apa yang harus kucapai bulan depan, tahun depan, 5 tahun yang akan atau rencana hidupku. Tidak lagi hanya dengan menikmati hidup dan berpuas dengannya. Hidup harus tetap terus berjalan, bergerak maju. Aku telah menikmati tahun-tahun terakhir dalam hidupku, liburan, menikmati kesenangan-kesenangan tanpa punya tujuan yang pasti dalam hidup. Kali ini aku telah selesai dengannya.
Pulang
Kita terus berjalan untuk turun. Sekitar pukul 1 siang kita tiba di Shelter 2, tempat kita mendirikan tenda. Cuaca mendung saat itu, aku sebenarnya tidak tahu apakah itu mendung atau kabut gunung, tapi jarak pandang saat itu sangat dekat, mungkin sekitar 100an meter.
Kita istirahat, menyiapkan makan siang dan membuat kopi. Makanan yang tersisa saat itu tiga atau empat bungkus indomie serta satu pack nasi ransum TNI. Kita masak semua bekal yang tersisa, lalu kita makan. Akhirnya perut ini menyentuh makanan lagi, setelah makan terakhir kemarin malam. Ditengah makan siang kita, hujan mulai turun, sangat deras. Semua rencana jadi batal, karena kita tidak bisa bergerak dikala hujan seperti ini.
Sekitar pukul 3, hujan baru berhenti. Kita bergegas untuk berkemas dan kemudian turun. Mau tidak mau kita harus turun malam ini dan harus bisa tiba dibasecamp pendaftaran malam itu juga. Semua basah, tas, pakaian bahkan jaket kita. Tidak memungkinkan untuk kita bermalam lagi disini.
Perjalanan pulang terasa begitu cepat, karena jalannya turun. Jalan cepat, kadang sambil berlari-lari kecil. Waktu istirahat juga jadi lebih singkat, kalau ketika naik kita biasanya setiap setengah jam sekali istirahat, kali ini mungkin sekitar sejam atau satu setengah jam sekali baru istirahat. Pokoknya kita usahakan bagaimana agar kita dapat sampai dibasecamp sebelum malam (walau memang kenyataannya tidak mungkin).
Setengah dari perjalanan kita, kita habiskan dalam perjalanan dengan gerimis. Tidak terlihat matahari sejak kita meninggalkan basecamp 2. Satu hal yang lebih menyedihkan lagi ialah ketika mendekati pintu rimba, banjir lumpur disepanjang jalur pendakian, membuat sekujur tubuh kita kotor dan mandi lumpur.
Kita tiba dibasecamp pendakian Gunung Kerinci, pukul 11 malam. Rasa syukur dan bahagia, ketika bisa turun dengan selamat. 3/4 perjalanan ini telah sukses, seperempat lagi kesuksesan itu ialah ketika kita bisa sampai dirumah dengan selamat.
Tiba dibasecamp, kita tidak berlama-lama lagi. Kita mengurus pendaftaran dan melapor kepada kantor basecamp bahwa kita telah turun dengan selamat. Lalu kita bergegas mencari penginapan. Tidak mungkin kita melanjutkan perjalanan ke Palembang saat itu juga.
Palembang
Keesokan paginya kita balik ke Palembang dan menghabiskan seharian diperjalanan. Beberapa rencana yang sempat kita pikiran, batal. Kita ingin ke Danau Gunung Tujuh tapi tidak mungkin karena kita sudah sangat kelelahan. Kita juga ingin ke Danau Kaco, danau dengan air yang sangat jernih. Tapi kita batalkan juga.
Aku sempat menginap di Palembang dua malam untuk mengurus penerbangan ke Jakarta dan menyempatkan jalan-jalan di kota Palembang. Pokoknya begitu tiba di kota Palembang, langsung kulineran. Badan memang agak lelah dan remuk rasanya. Tapi kalau soal makan, masih bisalah dikuat-kuatkan.
Penutup
Aku senang dengan pendakian kali ini, aku dapat menyelesaikan puncak kedua dari 7 rangkaian gunung tertinggi di Indonesia, aku dapat sampe kepuncak, turun dan kembali ke Jakarta dengan selamat. Dan satu hal yang paling ku syukuri dari perjalanan kali ini, ialah “aku menyadari bahwa hidup harus terus berjalan” setiap hari, setiap bulan, setiap tahun sebisa mungkin ada hal-hal baru yang membuat hidup kita tidak statis dan tidak hanya sekedar menikmati hidup.