Gunung Latimojong - dan berhenti sejenak
Lokasi : Enrekang, Sulawesi Selatan
Tinggi : 3478
Tanggal: nov 2021
GPX : Gunung Latimojong - dan berhenti sejenak
Ciri khas Latimojong ialah hutan Lumut. Hutan lebat yang rindang namun berlumut sepanjang tahun.
Puncak Latimojong yang tingginya 3478 namun setengah bagian perjalanan ini akan melalui hutan lebat yang pohon-pohonnya dipenuhi lumut. Itulah yang membuat gunung ini menarik, selain juga karena gunung ini termasuk dalam 7 gunung tertinggi di Indonesia. Latimojong sebenarnya merupakan pergunungan dengan setidaknya ada 10 puncak, dengan puncak Rante Mario sebagai puncak tertinggi. Bentangan pegunungan ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu bentangan pegunungan Latimojong dari Timur ke Utara, dengan puncak-puncaknya,
- Rante Mario (3478 mdpl)
- Nenemori (3397 mdpl)
- Latimojong (3305 mdpl)
- Rante Kambola (3083 mdpl)
- Sikolong (2754 mdpl)
- Bajaj (2706 mdpl)
- Lapande (2457 mdpl)
- Sinaji (2430 mdpl)
Selanjutnya ada bentangan pegunungan Latimojong dari Barat ke Timur dengan puncak-puncaknya,
- Puncak Pantoloan (2500 mdpl)
- Puncak Pokapinjang (2970 mdpl)
Karena perjalanan kali ini judulnya ialah menyelesaikan 7 summits Indonesia, maka kita hanya akan mencoba untuk mencapai puncak Rante Mario saja.
Awal mula
Perjalanan ini dimulai dari Jakarta, aku berangkat dengan pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta, pukul 1 malam. Pada perjalanan kali ini, aku hanya berdua saja dengan Gusto, pendaki gunung juga. Aku dan Gusto awalnya bertemu ketika kita sama-sama mendaki Gunung Prau tepat setahun yang lalu. Selama perjalan kita ngobrol dan saling bertukar kontak, merencanakan pendakian selanjutnya, namun baru sekarang tercapai.
Kami tiba di Bandara Sultan Hassanudin, Makassar pukul 5 pagi. Begitu tiba di Makassar, kita langsung ke rumah Bang Teten, kenalan Gusto. Mereka bertemu ketika naik gunung Kerinci 2 atau 3 tahun yang lalu. Sama seperti aku dan Gusto, mereka rutin berkomunikasi dan terus merencanakan perjalan selanjutnya, namun baru terwujud di pendakian Latimojong kali ini. Bang Teten tinggal di Makassar dan sudah berulang kali naik ke Latimojong. Dia juga sudah keliling Indonesia, bersama istrinya juga untuk naik gunung. Kerinci, Rinjani, Semeru, Tambora, beberapa diantara gunung yang pernah mereka daki bersama. Jadi selama di Makassar bang Tetenlah yang berbaik hati menjamu kami.
Sehari di Makassar, pukul 9 malamnya kita berangkat ke Enrekang dengan menggunakan bus. Perjalanan dari Makassar ke Enrekang ditempuh sekitar 7 jam, kita dilepas oleh istrinya Bang Teten, kak Nonik. Sebenarnya kak Nonik pingin sekali ikut, karena sudah lama tidak naik gunung, tapi karena pekerjaannya yang membuatnya tidak memungkinkan untuk ikut jadi Kak Nonik cuman mengantarkan kami. Malam pertama kita berakhir di Bus.
Sekitar pukul 4 pagi, kita sampai di Desa Enrekang, kita turun disebuah pasar. Disitu kita menunggu angkutan untuk menuju desa Baraka, namun sialnya angkutan umum baru ada pukul 9 pagi, kata warga setempat yang kami temui dipasar tersebut. Kita akhirnya menunggu di Kios-kios penjual, ngobrol, hingga tertidur. Pukul 5.30 pagi, beberapa kios sudah buka, ada satu kios yang menjual sarapan pagi dan snack. Sambil sarapan, kita ngobrol-ngobrol dengan orang-orang disitu. Bertepatan saat itu ada seorang supir truk sayuran yang akan menuju ke Desa Bakara juga, desa dimana basecamp awal pendakian berada. Daripada menunggu lama hingga pukul 9, akhirnya kita menumpang truk sayur tersebut.
Perjalanan menuju desa Baraka ditempuh dalam waktu 1 jam, kurang lebih. Selama perjalanan kita disuguhi pemandangan yang indah. Perbukitan hijau dan beberapa kali kita melewati tebing-tebing batu. Dari jauh kelihatan disepanjang tebing tersebut tedapat lubang-lubang persegi, yang katanya itu kuburan.
Tiba di Enrekang, kita singgah dirumah bang Darwin atau yang lebih akrab disapa bang Wiwin. Bang Wiwin ini merupakan temannya bang Teten dan adik kelasnya kak Nonik dulu di kampus. Tempat bang Wiwin di Engrekang ini merupakan sebuah perpustakaan yang berbentuk rumah pohon. Nama perpustakaannya ialah Pohon Pustaka. Bang Wiwin cukup terkenal di kampungnya dengan gerakan Pohon Pustaka tersebut, dia menjadikan pohon pustaka ini menjadi tempat pergerakan pemuda. Banyak kegiatan yang dilakukan bang Wiwin, diantaranya penanaman pohon bersama kementerian kehutanan, dia juga membuat tempat fotokopi dan print (dengan biaya sukarela) untuk warga sekitar. Tidak hanya buku, namun banyak peralatan musik di pohon pustaka ini, drum, lengkap dengan sound systemnya. Dan setiap ada hajatan, warga bisa menggunakan peralatan musik tersebut beserta sound systemnya.
Kita memutuskan memulai pendakian setelah sholat jumat. Dari Pohon Pustaka menuju basecamp pendakian gunung Latimojong sekitar 1 jam dengan menggunakan motor. Basecamp pendakian Latimojong berada di Dusun Karangan, dusun terakhir di kaki gunung Latimojong. Basecamp disini cukup bersih dan lumayan bagus. Terdapat kamar mandi yang bersih dan sumber air yang banyak, karena tepat disebelah sungai. Sesampainya di basecamp sudah pukul 2 siang, sehingga kita memutuskan makan siang disini dan kemudian packing perlengkapan kembali, kita berbagi perlengkapan untuk dibawa. Selain perlengkapan pribadi, ada tenda, konsumsi beras, udang dan bahan makanan lainnya yang dibagi sama rata sebisanya hingga muat ditas kita masing-masing.
Apa daya, begitu selesai makan, perut kenyang kondisi sangat dingin dan sedikit lelah, sepertinya lebih enak untuk tidur dan memulai pendakian esok pagi. Saat itu tidak banyak pendaki lainnya di basecamp tersebut, selain kita bertiga, ada tiga orang lainnya pendaki dari Surabaya. Dua cewek dan satu cowok, mereka juga memutuskan untuk bermalam di basecamp untuk besok paginya berangkat memulai pendakian. Malam kedua perjalanan kita berakhir di basecamp.
Mulai Pendakian
Keesokan paginya setelah semua siap sedia, sudah sarapan, kita berangkat pukul 9 pagi. Aku, Gusto, bang Teten bergabung dengan tiga pendaki lainnya tadi yang dari Surabaya. Kita mulai perjalanan bersama.
Pendakian gunung Latimojong melalui jalur Dusun Karangan, Engrekang ini sendiri akan melewati 7 pos, sebelum mencapai puncak Rante Mario. Jarak antar posnya sekitar 1 jam hingga 2 jam. Kemungkinan bisa lebih tergantung kecepatan jalan kita dan cuaca. Nah, kita kurang beruntung waktu itu, karena setengah perjalanan kita dilanda hujan. Berdasarkan treking yang kurekam selama perjalanan menggunakan Garmin. Total perjalanan 12.29 km, dengan titik akhir perekaman setelah pos dua saat turun. Karena setelah itu Garminnya mati, kehabisan baterai.
Dari basecamp awal pendakian hingga pos 1 dilalui dengan turun naik bukit. Pemandangannya masih didominasi oleh perkebunan warga. Hingga mendekati pos 1, kita akan sampai dipunggung sebuah perbukitan, daerah terbuka dengan pemandangan pegunungan Latimojong. Pos 1 sebenarnya area terbuka, namun tidak jauh dari pos 1 terdapat sebuah warung. Saat itu warungnya tidak buka sehingga kita hanya numpang beristirahat disana.
Menuju pos 2, disinilah ujian sebenarnya dimulai. Sekitar 300 meter berjalan setelah pos 1, kita akan memasuki hutan yang lebat dan rapat. Ciri khas hutan hujan Indonesia. Tidak banyak cahaya yang masuk, namun cukup terang. Setelah beberapa saat berjalan didalam hutan, kita akan melewati punggungan gunung, dengan sisi kiri merupakan jurang yang dibawahnya sungai. Sepanjang perjalanan kita akan mendengarkan aliran sungai dijalur ini. Menurutku pribadi punggungan ini cukup berbahaya, karena rawan longsor dan sebagian besar ditutupi oleh semak. Kadang semak ini cukup dalam sehingga membuat kita terperosok.
Sesampainya di Pos 2, kita beristirahat cukup lama disini. Terdapat tempat yang cukup luas untuk sekitar 4 tenda disini. Sumber air tepat disebelah pos 2, cukup deras, namun sangat jernih dan segar. Di pos 2 ini juga terdapat Gua kecil namun cukup untuk memuat dua tenda. Awalnya kalau kita jadi memulai pendakian pada jumat kemarin, kita akan menginap disini semalam. Pukul 2 siang, kita memutuskan untuk makan siang di pos 2 juga.
Selanjutnya perjalanan menuju pos 3, ujian terberat dalam pendakian ini. Jalurnya sebenarnya pendek, namun sangat susah dan terjal. Kita harus menggunakan tali yang memang sudah tersedia disitu untuk berjalan. Memanjat dari satu akar pohon ke akar lainnya. Dari satu pijakan ke pijakan lainnya. Cukup susah jalur satu ini. Ditengah perjalanan kita juga menemukan sebuah prasasti untuk mengenang pak Basuki, salah satu pendaki gunung senior yang meninggal dunia karena terjatuh dijalur ini.
Sesampainya di pos 3 kita beristirahat sebentar. Kemudian kita melanjutkan perjalanan ke pos 4. Dari pos 4 ini, medannya sudah hutan dan lumut sudah mulai banyak disini. Disini cuaca mulai berubah, hujan lebat turun, membuat tanah menjadi becek dan susah untuk berjalan. Awalnya kita memutuskan untuk berteduh dulu, namun karena jam sudah menunjukkan pukul 4, kita tetap memaksakan untuk berjalan. Karena mengejar untuk sampai pos 5 sebelum malam. Kita menargetkan untuk bermalam di pos 5.
Pos 5 merupakan dataran yang luas, namun masih tertutup pohon. Setidaknya disini bisa menampung hingga 20 tenda atau lebih. Hujan lebat hingga malam hari. Sehingga begitu tiba kita segera bergegas untuk beberes, masak, makan dan kemudian tidur. Sumber air di pos 5 sangat banyak, karena terdapat sungai disini. Namun untuk menuju sungai, jaraknya lumayan jauh sekitar 200 m dari pos 5 dengan medan turun naik. Disini setidaknya terdapat 4 hingga 6 kelompok pendaki lainnya. Malam ketiga kita berakhir di pos 5. Tidur ditenda dengan kedinginan dan basah karena semalaman hujan.
Keesokan paginya, sekitar pukul 5 pagi kita berangkat untuk melanjutkan pendakian. Bersama kelompok pendaki lainnya yang sama-sama bermalam di pos 5, kita berangkat. Dari pos 5 hingga pos 6 ini didominasi oleh hutan lumut. Jalurnya cukup panjang namun tidak se-ekstrim jalur 2 ke 3. Memasuki pos 6, sudah tampak tumbuhan Cantigi. Cantigi biasanya tumbuhnya pada ketinggian diatas 1000 mpdl ditanah yang tidak ditutupi pohon. Kalau sudah ketemu Cantigi artinya posisi kita sekarang sudah cukup tinggi dan menandakan sebentar lagi mencapai puncak. Tidak salah memang, karena setelah pos 6 ini, kita sudah berada di puncakan-puncakan pegunungan Latimojong. Dari pos 6 hingga ke pos 7 kita sudah keluar dari hutan dan jalur pendakian akan turun naik puncakan. Jalur ini cukup panjang namun tidak sulit. Beberapa kali kita akan tertipu, mengira bahwa puncak didepan kita merupakan puncak Rante Mario dan ternyata tidak, karena dibalik puncak masih ada puncak lagi.
Setelah kita melewati beberapa puncakan, akhirnya pukul 11 siang kita tiba di puncak sejati, puncak tertinggi pegunungan Latimojong. Puncak Rante Mario. Bersyukur bisa sampai disini dengan selamat, walau sudah cukup siang dan kita tidak mendapati pemandangan yang cukup bagus, selain cuman lautan awan. Tapi rasanya sudah puas, sudah bisa mencapai puncak tertinggi di Sulawesi.
Perjalanan Turun dan Musibah
Pukul 12 kita turun dari puncak dan makan siang ditengah-tengah antara pos 7 dan puncak. Perjalanan turun juga tidak mudah, karena hujan disepanjang perjalanan kita. Perjalanan panjang, kita sampai kembali di Pos 5 sekitar pukul 3 sore. Sesampainya di camp pos 5, kita segera beberes dan memutuskan untuk turun saat itu juga, karena perbekalan kita tidak memungkinkan untuk camping satu malam lagi. Ini kesalahan fatal pertama kita. Saat itu kita segera turun dengan target mencapai pos 2 sebelum gelap. Kita cukup optimis, karena merasa masih cukup kuat, padahal perhitungan kita salah.
Awalnya semua berjalan lancar, kita turun, tidak banyak ngobrol hanya terus berjalan dengan kecepatan konstan. Namun semua itu berubah ketika kita mencapai menuju pos 3 dari pos 4. Disini Gusto mengalamai cedera dikakinya. Sebenarnya sudah dari puncak, kakinya nyeri, namun dari pos 4 inilah nyeri tersebut bertambah parah. Sebelum mencapai pos 3, kondisi sudah gelap. Kesalahan kedua kita ialah tidak punya baterai cadangan. Kita mempunyai senter yang cukup, setidaknya lebih dari 4 saat itu, namun yang bisa menyala pada malam itu cuman 2, sisanya baterainya sudah habis. Melewati jalur mematikan dari pos 3 hingga pos 2, kita bersama-sama saling bantu. Gusto kita biarkan ditengah, Bang Teten didepan dan aku dibelakang. Begitu sampai di tugu prasasti pak Basuki, tandanya sudah dekat pos 2. Dan benar sudah mulai kedengaran suara sungai. Bersyukur rasanya bisa sampai di pos 2 dengan selamat dan lengkap kita bertiga.
Tiba di pos 2 ini, aku merasa stamina sudah berkurang drastis dan tubuh sudah sangat dingin. Namun kita harus tetap bergerak untuk mencegah hipotermia. Kita terus melanjutkan perjalanan. Kita mengubah strategi, Bang Teten didepan, aku ditengah dan Gusto kita harapkan untuk berjalan pelan sambil menunggu pertolongan. Saat itu kita menargetkan supaya dapat tiba segera di pos 1 untuk menelpon ojek atau warga untuk meminta bantuan. Kesalahan ketiga kita disini, kita meninggalkan Gusto.
Diperjalanan dari pos 2 hingga pos 1 ini, merupakan perjalanan paling menyeramkan dalam hidupku. Saat itu aku sudah sangat lelah. Setiap 10 menit kita berhenti untuk istirahat, nah ketika istirahat tersebut, aku sempat beberapa kali tertidur. Ketika bangun dan lanjut berjalan, beberapa kali aku kehilangan keseimbangan dan salah memilih pijakan. Saat itu aku memijak tanah yang gembur dan kemudian shurr, longsor! Aku terperosok ke jurang yang sisi dalamnya langsung ke sungai. Terperosok jauh hingga kedalaman 6 meter. Aku mengira-ngira, dalam jurang tersebut sekitar 40 meteran kebawah. Bang Teten saat itu sudah didepan, tidak terlalu jauh karena dia selalu memantau diriku agar tidak tidur. Aku berteriak memanggil bang Teten dan dia balik dengan paniknya melihat aku sudah dipinggir jurang bergelantungan mengait semak-semak rerumputan. Pijakan ku saat itu cuman lobang yang terbentuk dari sepatuku didinding jurang tersebut. Aku berusaha tetap tenang dan berpikir bahwa aku yakin akan bisa untuk naik dan selamat. Namun semakin aku mencoba, aku semakin jatuh, karena rerumputan yang tadinya kujadikan pegangan, telah tercabut sebagian dari akarnya. Aku mencoba mengoper tas kerilku ke bang Teten, agar beban yang kubawa saat itu berkurang. Aku mengaitkan tas tersebut ke treking pole dan bang Teten menariknya dari atas. Setelah itu aku mencoba mengawasi sekeliling, melihat apakah ada tempat pijakan atau pegangan. Tepat disebelah kiriku, setidaknya berjarak 1 meter dariku ada dahan pohon yang turun menjalar kebawah. Aku berpikir, aku dapat menggunakannya sebagai pegangan dan naik keatas.
Namun, tidak semudah itu, didahan pohon tersebut terdapat duri-duri kecil. Mau tak mau aku menggemgamnya. Semakin keras, semakin menusuk durinya, semakin sakit, namun badanku sedikit berpindah. Aku dapat mengangkat diriku sendiri keatas dengan berpengangan pada dahan tersebut. Naik perlahan-lahan, hingga akhirnya aku dapat sampai keatas, ke bibir jalur setapak, jalur pendakian yang kita lalui. Begitu sampai diatas, jantungku berdebar sangat kencang, tak terbayangkan kejadian yang baru saja kualami. Rasa syukur yang mendalam, aku dapat selamat. Kita memutuskan istirahat sebentar. Setelah debaran jantung mereda dan kuat untuk berjalan lagi, kita melanjutkan perjalanan.
Tidak berapa lama kemudian kita sampai dibangku kayu, pertengahan antara pos 1 dan pos 2. Tempat kita berhenti cukup lama ketika memulai pendakian kemarin. Disini sinyal sudah ada dan kita bisa melakukan kontak ke basecamp pendakian. Kita menceritakan keadaannya, bahwa ada teman kita yang mengalami cedera dan tidak bisa melanjutkan perjalanaan. Penjaga warung di basecamp tersebut langsung bergegas menjemput kami. Aku dan bang Teten juga melanjutkan perjalanan hingga ke Pos 1. Sekitar sejam perjalanan kita sampai di pos 1, kita beristirahat di pondokan warung. Disini kita berdiam menunggu pertolongan. Aku yang sudah basah kuyup, melepaskan semua bajuku dan menjemurnya, kemudian masuk ke sleeping bag. Sekitar sejam aku dapat tertidur sebelum bapak penjaga warung datang. Begitu tiba dia memberikan kami makanan dan minuman. Kemudian dia bergegas menuju pos 2 untuk menyusul Gusto yang hingga saat itu belum tiba ke pos 1.
Sejam berlalu setelah pak penjaga warung meninggalkan kami, dia belum juga kembali, aku yang saat itu sudah tidak punya tenaga lagi, tertidur. Seingatku dengan kondisi yang menggigil. Mungkin ada sekitar 2 jam, hingga bapak dan Gusto tiba ke Pos 1. Kita bersyukur semua selamat. Pak Penjaga warung mengambil motornya dan mulai mengantar kami satu persatu dari Pos 1 ke basecamp pendakian. Dimulai dari Gusto, terus aku dan terakhir bang Teten. Malam ke empat kita berakhir di basecamp pendakian dengan selamat. Kita bisa sampai dibasecamp lengkap bertiga. Bebersih, makan dan kemudian tidur, kalau tidak salah, kita bisa terlelap pukul 2 pagi. Bersyukur untuk hari ini, bersyukur untuk semua yang telah berlalu.
Keesokan paginya, setelah sarapan, akhirnya semua terungkap. Malam itu ternyata Gusto tidak melanjutkan perjalanan dan berhenti tidak jauh dari pos 2. Bapak menemukannya tertidur ditengah jalur pendakian. Mereka kemudian berjalan beriringan hingga pos 1. Pagi ini kita saling bertukar kisah, Gusto bercerita mengenai apa yang dialaminya saat itu, dia kelelahan dan memilih beristirahat, tak sadar hingga tertidur. Bang Teten menyampaikan yang kami alami ketika aku terperosok ke jurang. Dia juga bercerita kepanikannya saat itu. Aku bercerita kepada mereka perasaan yang kualami saat itu, mencoba untuk tetap tenang bahwa semuanya bisa kulalui dan aku tidak akan jatuh kedalam jurang. Juga, pasrah seandainya sesuatu yang buruk terjadi.
Selalu ada cerita dari setiap perjalanan dan aku bersyukur dapat selamat dalam perjalanan kali ini. Hari itu juga kami balik ke pohon pustaka, disana seharian kita beristirahat dan meregangkan otot. Malamnya kita balik ke Makassar, kali ini kita menggunakan travel langsung dari Engrekang ke Makassar. Perjalanan ini diakhiri dengan jalan-jalan keliling kota Makassar dan kulineran.
Berhenti sementara
Tak terasa, sekarang sudah sampai dibulan November tahun 2021. Sebentar lagi Desember dan selanjutnya kita akan memasuki tahun 2022. Aku bersyukur telah bisa mendaki setidaknya delapan atau sembilan gunung ditahun ini. Aku bersyukur dapat selalu sehat dan selamat dalam setiap pendakianku. Banyak sekali hal yang bisa kupelajari dalam setiap perjalanan yang kulalui. Setidaknya dalam 2 tahun pendakian ini aku merasa diriku lebih hidup dan itu ternyata sangat berharga. Aku belajar bahwa tidak semua perjuangan akan menghasilkan puncak dan kesuksesan, aku tidak lagi berharap banyak pada satu hal, yang bisa kulalukan hanyalah menjalani perjalanan ini sedikit demi sedikit dan melihat hasilnya pelan-pelan. Jikalau gagal, besok akan ada kesempatan lagi untuk menaklukkannya, karena puncak gunung tidak akan lari kemana-mana. Perjalanan yang menguras tenaga, susah payah yang dilalui selama perjalanan, tidak tidur beberapa hari, kelaparan yang amat sangat, hingga pengalaman dekat dengan kematian membuatku tidak lagi takut untuk menjalani hidup, karena aku percaya bahwa semuanya akan berbuah manis, setidaknya kalau bukan puncak, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik, setidaknya ada kaki yang semakin kuat, ada diri yang semakin tangguh, juga dapat mengenal teman yang setia.
Aku bahagia dapat menutup tahun ini dengan selamat dapat mencapai puncak Latimojong dan pulang kembali. Aku bahagia dapat menutup perjalanan panjang pendakianku dengan pengalaman yang mengesankan. Setidaknya hingga beberapa bulan kedepan, aku akan memilih untuk berhenti sejenak dalam perjalanan pendakianku. Ada hidup yang harus kutata, ada masa depan yang harus kupersiapkan, dan pastinya puncak kehidupan yang siap untuk didaki!